Monday, August 15, 2011

Balikpapan, sebuah realitas kemajuan

Nama kota yang mungkin asing ditelinga khalayak ramai, namun sesekali berkunjunglah ke kota yang terletak di Kalimantan Timur ini. Kota kecil yang penduduknya ramah, bersih, indah, aman, dan nyaman, seperti slogannya, “Balikpapan Beriman” . Namun apa yang digambarkan tadi merupakan situasi kondisi kota Balikpapan beberapa tahun yang lalu. Kini Kota Balikpapan telah melakukan transformasi besar-besaran disegala aspek, mulai dari infrastruktur sampai pengembangan wilayah seperti industri, pariwisata, dan perdagangan.
Balikpapan kini telah memasuki masa puber-nya, bahkan ada yang menjuluki Balikpapan sebagai kota mini metro politan, entah mungkin saja beberapa tahun kedepan Balikpapan akan sungguh-sungguh menjadi Kota Metropolitan seperti Surabaya, Jakarta, dll. Kota yang sering dikabarkan akan menjadi Ibukota Negara ini bahkan menyaingi Ibu kota provinsi di Kalimantan Timur, yaitu Samarinda. Namun perlu kembali dicermati kembali perihal kemajuan yang terbilang begitu pesat dan cepat di Kota Balikpapan itu sendiri, mulai dari kepantasan dan kesiapan Kota dan yang terpenting kesiapan dan kepantasan Masyarakat Kota Balikpapan.
Terhitung pada tahun 2010 tamatan SLTA mencapai sekitar 39,40 persen, sedangkan proporsi penduduk yang menamatkan Perguruan Tinggi sekitar 9,50 persen. Proporsi yang berpendidikan rendah (memiliki ijazah SLTP ke bawah) 51,10 persen. Artinya hampir separuh penduduk sudah berpendidikan menengah ke atas. (sumber: BPS Kota Balikpapan). Barangkali bisa sedikit berbangga melihat presentase yang dapat dikatakan lumayan bagus jika dibandingkan dengan kota kecil lain yang serupa dengan Kota minyak ini, namun hal yang harus ditekankan adalah, kini Balikpapan sedang menghadapi sebuah Realitas kemajuan, imbas Globalisasi yang turut menyeret kota Balikpapan dalam pergumulan kota-kota maju di Indonesia.

Mengapa tingkat pendidikan saja yang saya ambil sampelnya? Karena menurut saya tingkat pendidikan merupakan aspek kunci yang akan menjabarkan tentang tingkat pengangguran, status sosial masyarakat, dll. Seperti yang diutarakan diatas, dalam menghadapi realitas perubahan diperlukan kepantasan masyarakat dalam menerima hal-hal yang terbilang baru, seperti lifestyle, food, fashion, dll. Apabila masyarakat tidak mampu atau belum memiliki kepantasan dalam menghadapi hal-hal yang terbilang baru tersebut maka akan timbul kekagetan ditengah-tengah masyarakat. Kekagetan dalam hal ini yaitu berupa perubahan penyikapan dan cara pandang masyarakat dalam menerima sesuatu yang baru.

Pragmatisme dan hedonisme adalah sedikit contoh dari banyak penyakit yang timbul akibat dari kekagetan masyarakat dalam menerima hal-hal yang baru. dihubungkan dengan tingkat pendidikan masyarakat kota Balikpapan, maka dari sini kita dapat melihat cara pandang dan penyikapan masyarakat kota Balikpapan dengan hal-hal yang baru masuk tadi, apakah disikapi dan dipandang dengan bijak dan esensial atau malah sebaliknya.

Yang banyak muncul adalah kesalahan penyikapan dan cara pandang masyarakat kota, sehingga yang timbul adalah hedonisme dan pragmatisme yang kini sedang marak dijangkiti oleh kaum tua, muda dan anak-anak sekalipun. Pergerakan Dakwah yang kabarnya sedang mulai berkembang di Balikpapan seakan-akan ikut tak berdaya membendung “virus” yang sedang menjangkiti masyarakat kota yang bermaskotkan Beruang Madu ini. Akhirnya dampak sekunder yang bisa muncul dikemudian hari adalah kemalasan, hidup glamour dan hura-hura, serta sikap konsumtif yang melebihi ambang batas.

Entah apakah dampak-dampak dari kemajuan Kota Balikpapan ini sudah di proyeksikan bahkan dirasakan oleh pemerintah yang berwenang dan para Anggota DPR serta kaum intelektual yang aktif didalamnya? Ironis apabila menunggu semua dampak yang telah saya sebutkan tadi benar-benar terjadi. Akan jauh lebih susah memperbaikinya nanti.

Bicara solusi, tentu saja ada. Pendidikan Karakter mungkin adalah salah satu solusi untuk membendung kemajuan yang ada di Balikpapan. Seperti tema ospek yang digalakan di salah satu Universitas Negeri di Yogyakarta, yaitu pendidikan profetik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti profetik adalah : berkenaan dengan kenabian. Tidak ada salahnya coba digagas tentang Pendidikan profetik untuk dimasukan ke kurikulum dari jenjang pendidikan dasar hingga menegah atas. Pendidikan karakter membentuk masyarakat yang rahmatan lil ‘alamin, mendidik masyarakat yang pada akhirnya akan mampu menyikapi dan memandang sesuatu yang baru dan berbeda dengan bijak dan esensial, sehingga kemajuan dan perkembangan kota akan dapat terus berjalan, tanpa harus memikirkan resiko-resiko yang muncul dari kemajuan tersebut.

Wednesday, August 10, 2011

Ramadhan, Bulan Rekonsiliasi dengan Sang Khaliq



Ramadhan adalah bulan penuh, berkah, rahmat, serta ampunan. Bulan yang biasanya para mubaligh membahasakannya dengan, bulan yang sedang obral pahala di dalamnya. Sebagai seorang Muslim kita telah di minta baiat-nya oleh Allah ketika masih di alam ruh, “Alastu bi rabbikum” “Qolu bala syahidna”, itulah ikrar suci yang kita ucapkan di hadapan sang khaliq sebelum sang ruh ditiupkan ke dalam rahim sang ibu dan selanjutnya dilahirkan sebagai seorang makhluk sempurna yang bernama manusia.
Janji yang sudah kita ikrarkan di hadapan sang khaliq tentunya memiliki minimal dua konsekuensi yang harus dijalankan, terlebih lagi setelahnya di dunia, ikrar tersebut semakin di perkuat dengan kalimat Syahadat “asyhadu ala ilahaillah, wa asyhaduanna muhammadurrasulullah” , sehingga ikrar manusia dengan Sang Khaliq semakin mempunyai kekuatan hukum yang kuat dan akan berdampak bagi setiap manusia yang mencoba untuk melanggar janji yang sudah disepakati bersama tersebut. Konsekuensi yang timbul dari ikrar suci tersebut diantaranya adalah:
Manusia harus mentaati segala sesuatu yang telah diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya, ini adalah wujud ketaatan/loyalitas/al-wala atau kesetiaan kepada sang khaliq ditambah lagi Islam adalah agama yang rapi dan teratur, hal tersebut diwujudkan dengan adanya suatu konsep yang diterapkan dalam menjalankan setiap perintah agama, yaitu reward and punishment. Dalam surat Asy-Syams Allah SWT berfirman “Fahal hamaha fujuroha wa taqwaha” yang artinya “Allah memberikan kepada manusia kecenderungan untuk berbuat baik dan kecenderungan untuk berbuat buruk, dalam ayat selanjutnya “qod af lahaman dzakkaha, wa qod khobaman dassaha” yang artinya “ beruntunglah orang yang mensucikan dirinya, dan merugilah orang yang mengotori dirinya”. Ini bisa bermakna ada konsep reward and punishment yang diterapkan Allah SWT dalam menerapkan syariat agamanya, dalam arti lain maka orang-orang yang mensucikan dirinya akan mendapatkan reward atau hadiah, dan orang yang mengotori dirinya akan mendapatkan hukuman atau balasan dari apa yanng ia perbuat. Maka konsekuensi awal yang muncul adalah setiap mukmin harus mentaati segala apa yang di perintahkan dan menjauhi segala yang dilarang oleh-Nya.
Menerima kekuasaan Allah yang mutlak atas segala sesuatu, mungkin bagi sebagian orang seperti filusuf, dan pemikir-pemikir lainnya ini sulit untuk diterima, karena seakan-akan membelenggu ilmu pengetahuan, ruang gerak dan kemajuan. Namun sebagai seorang mukmin, eksistensi Allah sebagai penguasa alam raya beserta seluruh apa yang ada di dalamnya merupakan sebuah keharusan dan ancaman bagi yang tidak mengimani hal tersebut. Ini juga merupakan konsekuensi atas apa yang kita ikrarkan pada saat di alam ruh, maupun ketika di dunia dan merupakan wujud ketaatan kita kepada Sang Khaliq atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikan oleh-Nya kepada setiap manusia.
Mengingat bahwa dua konsekuensi tersebut adalah aspek minimal yang harus dimiliki oleh setiap muslim, maka seharusnya tidak ada alasan bagi setiap muslim untuk tidak menjalankan konsekuensi yang sudah menjadi kewajiban bagi setiap insan yang mengaku muslim dan bertuhankan Allah. Namun kenyataan yang terjadi adalah tidak sedikit kaum muslimin yang berkilah dari apa yang telah ditentukan, menjadi hamba yang melakukan sesuatu mengikuti hawa nafsunya atau seenak udelnya saja, padahal ikrar yang telah diucapkan kepada Allah (syahadat) menurut Sayyid Quthb bahwa “ikrar la ilaha illallah adalah sebuah revolusi besar yang merampas hak-hak ketuhanan, dan upaya untuk berlepas diri dari kekuasaan yang mengatur manusia selain kekuasaan dari Allah semata”.
Dengan demikian bisa kita tarik kesimpulan dari pernyataan Sayyid Quthb , bahwa ikrar la ilaha illallah merupakan wujud kepasrahaan manusia atas segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah keduniawian atau wujud penyerahan diri manusia kepada Allah mengenai segala sesuatu yang mengatur manusia maka konsekuensi yang timbul adalah tidak ada yang berhak atas diri manusia kecuali Allah.
Manusia era sekarang cenderung mempunyai hubungan yang kurang harmonis dengan Allah, walaupun kita ketahui bersama, bahwa Allah tetap senantiasa mencintai hambanya tidak melihat apakah ia beriman atau tidak, ini diwujudkan dengan rahmat yang begitu besar yang Ia berikan kepada manusia berupa kehidupan, tubuh, dan nikmat lainnya. Dengan melihat dua konsekuensi yang telah dijelaskan sebelumnya, marilah kita bercermin kepada diri kita, tentang bagaimana kualitas diri kita, kepantasan kita sebagai makhluk yang telah diberi akal dengan begaimana dapat mensyukuri segala nikmat dan karunia yang telah diberikan oleh-Nya. Maka berkenaan dengan momentum bulan ramadhan 1432 H, mari kita perbaiki hubungan kita dengan sang Khaliq, di bulan yang mulia dan penuh rahmat serta barokah ini mari kita lakukan rekonsiliasi dengan Allah. Dengan berharap ampunan dan ridho-Nya serta bersemangat mengejar iming-iming gelar Taqwa dan Jannah yang telah disiapkan oleh-Nya. Waullahu’alam bish shawab
Gusti Fadhil F.L.
Mhs Syari'ah FIAI UII

Ilustrasi : http://dheeta.student.umm.ac.id/files/2010/08/20090123142928.jpg