Sunday, April 28, 2013

Mencari Islam yang Membebaskan



            Penggunaan kata “liberal” dalam konteks Islam akan selalu menuai kontroversi bagi banyak golongan, namun kita perlu kita ingat bahwa apabila kita melakukan penggalian secara mendalam dari aspek ontologi ajarannya, Islam adalah liberal. Sulit diterima banyak kalangan, karena kata “liberal” telah terstigmakan negatif dikalangan umat islam Indonesia, lantaran sering melakukan penafsiran-penafsiran yang berbeda dari ketentuan yang telah diatur para ulama-ulama sebelumnya.
            Islam sebagai ajaran rahmatan lil ‘alamin memang telah membuktikan sifatnya yang liberalistis. Hal ini dapat diketahui melalui pelacakan dalam teks-teks tarikhul islam atau sejarah islam yang telah ditulis oleh banyak ulama. Bahkan kita secara tidak langsung pernah menyampaikan islam
yang liberal dibanyak kesempatan seperti diskusi, pengajian dan lain-lain. Salah satu bentuk islam yang liberalistis dapat kita temukan dalam kisah pembebasan budak berkulit hitam Bilal bin Rabbah oleh sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq. Yang ketika itu Bilal tengah ditindih oleh sebuah batu besar oleh orang Quraisy, karena Bilal keukeuh menyatakan Ahad atau Tuhan yang Esa. Kemudian kisah lainnya datang dari pemuliaan perempuan oleh Islam. Hal ini bisa kita lihat dari bagaimana seorang Muhammad begitu memuliakan perempuan. Menempatkan perempuan pada posisi setara dengan laki-laki. Bahkan isteri beliau, Aisyah dikenal sebagai intelektual perempuan muslim pertama dalam sejarah islam.  Dari kisah di atas kita dapat menemukan tiga wacana modern yang baru mulai berkembang pasca perang dunia ke 2. Yaitu wacana mengenai Perbudakan (slavery), Persamaan Ras (equality of human race), dan Persamaan Gender (gender equality).
            Islam sendiri berasal dari kata salima yang artinya selamat. Kemudian dapat disimbolkan bahwa islam itu adalah yang menyelamatkan setiap makhluk Tuhan yang hidup di muka bumi sebagai manifestasi ajaran yang rahmatan lil ‘alamin tanpa mengenal suku, ras dan agama.
            Apabila kita analisis lebih jauh, semangat islam yang liberalistis inilah yang menjadi daya tarik islam kala itu atau menurut An-Naim bahwa disinilah (fase Mekkah) islam memperlihatkan sisi keuniversalitasannya sebagai ajaran yang rahmatan lil ‘alamin. Persebaran islam fase Mekkah juga terbilang unik. Dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan lebih menonjolkan humanisme dan sifat teladan Muhammad yang memang telah dikenal sebagai seseorang yang berbudi perkerti yang luhur. Cara yang sangat bertolak belakang dengan yang digunakan oleh orang-orang sesudahnya yang lebih memilih jalan kekerasan atas nama agama (perang suci) dengan melakukan ekspansi ke daerah-daerah sekitar jazirah arab dan eropa. Pada fase Madinah islam tidak menyerang melainkan diserang (mempertahankan diri) dan fokus dalam penguatan aqidah melalui penyusunan syari’at.
            Perkembangan islam tidak dapat dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh. Melainkan dua hal yang terpisah. Dengan kata lain islam di Mekkah berbeda dengan islam di Madinah. Ini jelas dan tidak terbantahkan, misalnya dalam konteks hukum haramnya khamr. hukum larangan meminum khamr baru turun ketika fase Madinah. Maka dapat kita asumsikan bahwa, ada sebagian umat islam yang masih meminum khamr ketika fase Mekkah. dari sini kita dapat melihat islam yang belum mapan (fase Mekkah) dan islam yang sudah mapan (fase Madinah).
Namun jangan disalah artikan bahwa Islam fase Mekkah belum melahirkan suatu kepastian hukum, yang berarti tidak dapat dijadikan acuan dalam berislam. Yang ditekankan disini adalah bahwa islam dibangun melalui cinta, kasih dan perdamaian. Citra-citra inilah yang membentuk islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, bukan melalui ketentuan hukum yang diformalisasikan dalam bentuk aturan menjalankan syari’at.
Dewasa ini banyak umat islam terjebak dalam romantisme dinasti-dinasti islam, yang notabene persebarannya ekspansif yang tentu melalui jalan perang. Apalagi konstelasi politik dibangun berdasarkan sistem monarki (suksesi kepemimpinan sedarah), dan kental dengan nuansa politisasi teks-teks Al-Qur’an dan Hadis sebagai jalan penguasa dalam melanggengkan kekuasaannya. Alhasil kini umat islam kental dengan citra-citra yang tidak mengedepankan akhlak mulia dan hanya fokus pada penegakan syari’at secara paksa terhadap setiap masyarakat baik muslim maupun non-muslim. lantas akibat dari cara yang kurang simpatik itulah kini umat islam turut tak mendapat simpati dari sebagian masyarakat. Dalam situasi yang seperti itu pula umat tetap berisikeras dan tak kunjung introspeksi, malah justru semakin menyalah-nyalahkan, mengkafir-kafirkan, dan membenar-benarkan diri (?).

Mereka yang Engkau anugerahi
kekuatan sering kali bahkan merasa
diri Engkau sendiri
Mereka bukan saja ikut
menentukan ibadah
tetapi juga menetapkan
siapa ke sorga siapa ke neraka.
 
Mereka sakralkan pendapat mereka
dan mereka akbarkan
semua yang mereka lakukan
hingga takbir
dan ikrar mereka yang kosong
bagai perut bedug.
Allah hu akbar walilla ilham.

(Puisi Gus Mus - Kaum Beragama di Negeri ini)

No comments:

Post a Comment