Carut
marutnya moralitas para penegak hukum di Indonesia sudah tak terelakan. Di
media-media baik cetak maupun elektronik ramai diberitakan tertanggkapnya
jendral, kasus suap hakim, korupsi dalam tubuh kepolisian, dan lain sebagainya.
Negara
seakan buta, tuli dan gagu tak berdaya menyelesaikan berbagai persoalan yang
muncul. Atau bahkan negera terlibat (?). Persoalan dalam negeri ini memang tak
ada habisnya. Banyak pakar yang menyebut bahwa yang salah adalah sistem, ada
pula yang mengakatan moralitas manusianya yang buruk. Kedua hal tersebut bisa
saja benar namun bisa saja salah.
Hal ini dapat kita lihat bahwa Indonesia merupakan negara yang baru tumbuh dan berkembang, terhitung proses demokratisasi di Negeri ini baru berjalan selama kurang lebih 14 tahun lamanya. Dalam kurun waktu yang sesingkat itu, dapat dimungkinkan terjadi kesalahan dalam pembentukan sistem, apalagi dalam konteks hukum yang jamak diketahui bahwa sistem hukum di Indonesia masih menggunakan sistem hukum yang berlaku pada masa penjajahan belanda lewat asas konkordasi. Kemudian apabila kita lihat pada aspek moralitas manusia Indonesia yang dalam hal ini para pejabat negara juga bisa dibenarkan. Sepanjang 14 tahun demokratisasi, belum pernah tercatatkan seorang pejabat bersih yang duduk dalam kursi pemerintahan baik Eksekutif maupun legislatif. Politik transaksional dan KKN tetap kerap mewarnai perjalanan politik di negeri tercinta.
Hal ini dapat kita lihat bahwa Indonesia merupakan negara yang baru tumbuh dan berkembang, terhitung proses demokratisasi di Negeri ini baru berjalan selama kurang lebih 14 tahun lamanya. Dalam kurun waktu yang sesingkat itu, dapat dimungkinkan terjadi kesalahan dalam pembentukan sistem, apalagi dalam konteks hukum yang jamak diketahui bahwa sistem hukum di Indonesia masih menggunakan sistem hukum yang berlaku pada masa penjajahan belanda lewat asas konkordasi. Kemudian apabila kita lihat pada aspek moralitas manusia Indonesia yang dalam hal ini para pejabat negara juga bisa dibenarkan. Sepanjang 14 tahun demokratisasi, belum pernah tercatatkan seorang pejabat bersih yang duduk dalam kursi pemerintahan baik Eksekutif maupun legislatif. Politik transaksional dan KKN tetap kerap mewarnai perjalanan politik di negeri tercinta.
Dalam
pembahasan lain dapat dikatakan bahwa moralitas manusia yang patut dijadikan
perhatian, karena dalam konteks ini sistem merupakan alat dan manusia sebagi
penggerak alat yang bertanggung jawab mau dibawa kemanakah atau mau diapakan
kah alat tersebut. Kemudian Immanuel Kant muncul dan mencetuskan teorinya yang
terkenal mengenai etika, yakni etika Imperatif Kategoris. Sebagian orang ada
yang menyebutnya dengan etika kewajiban. Teori ini beranggapan bahwa sesuatu
yang baik berada di dalam kehendak yang baik. Maka seseorang berbuat baik bukan
karena berdasarkan tujuan atau hubungan kausalitas yang terjadi dari sebab yang
menjadi akibat, melainkan berbuat baik karena sifat Imperatif (perintah) dari
kewajiban kehendak yang baik dan harus dilakukan tanpa disertai motif atau
pengharapan imbalan apapun.
Munculnya
Kant dengan pemikiran etikanya, sebenarnya dilatarbelakangi oleh realitas bahwa
pure reason (akal murni) yang
menghasilkan sains tidak mampu memasuki wilayah neumena, yaitu dunia thing in
itself atau dunia supra fenomena. Bagi Kant rasio dan sains sangat terbatas
dan hanya mengetahui penampakan objek, maka harus menggunakan practical reason (akal praktis)
Dalam bangunan etika
Kant terdapat lima pandangan yang menjadi hal terpenting dalam pemikiran Immanuel
Kant diantaranya adalah Imperatif Kategoris, Legalitas dan Moralitas, Otonomi
dan Kehendak, Kebaikan dan kebahagiaan, Etika dan Agama. namun dalam pembahasan ini hanya dibahas mengenai Imperatif Kategoris saja.
Imperatif
Kategoris Immanuel Kant merupakan bahasan terpenting dalam bangunan etika
Immanuel Kant, bahkan dapat dikatakan sebagai ide dasar bagi bangunan etikanya.
Sebelum membahas lebih jauh menjelaskan tentang Imperatif Kategoris, penulis
ingin memberikan pengandaian terlebih dahulu terkait dengan hal ini. Pernahkah
kita berfikir tentang hubungan
kausalitas (sebab-akibat) yang terjadi dalam sebuah tindakan? Atau reward and punishment dalam sebuah
tindakan. Atau lebih mudahnya pernahkah kita berfikir tentang segala tindakan
manusia yang dilakukan atas motif-motif atau tujuan-tujuan tertentu itu dapat
dikatakan sebagai sebuah kebaikan? Atau ketika seorang muslim melakukan
perbuatan sambil mengharapkan imbalan berupa surga atau paling tidak balasan
berupa kebaikan dari apa yang ia lakukan sebelumya.
Apakah
penagandaian-pengandaian diatas dapat disebut sebagai perbuatan baik? Lalu
bagaimana apabila konsep imbalan atas perbuatan itu tidak pernah ada, masihkah
kita mau berbuat kebaikan. Seperti dalam sebuah lirik lagu yang sudah tidak
asing lagi ditelinga kita; “jika surga
dan neraka tak pernah ada. Masih kah kau bersujud kepada-Nya?”. Seperti
itulah secara sederhana kita memahami imperatif kategoris Kant sebelum masuk
jauh lebih dalam.
Secara
sederhana , Imperatif Kategoris
disimbolkan dengan perkataan “bertindaklah secara moral”. Perintah ini tidaklah
mengandung segala perintah (command),
melainkan sebagai perwujudan adanya suatu “keharusan Objektif” untuk bertindak
secara moral yang datang dari dalam diri sendiri, yang tidak bersyarat bersifat
mutlak dan merupakan realisasi dari rasio (budi) praksis. Maka akal budi atau
rasio melahirkan tindakan (praksis) dalam melihat sebuah peristiwa sebagai
landasan aturan mengenai tingkah laku yang baik. Etika semacam ini melahirkan
produk etika universal, yakni etika yang apriori,
yaitu murni, terbebas dari segala yang bersifat empiris, karena etika
sendiri berada diluar fenomena (Neumena).
Kehendak
baik tidaklah tergantung pada hasil yang akan dicapai, tetapi lebih kepada bahwa
bertindak baik dmi kewajiban sebagai manusia. misalnya perintah “jangan
berbohong”. Perintah ini mengikat setiap orang dan karenanya bersifat unversal.
Unsur apriori nya adalah kehendak
baik yang ada dalam perintah tersebut yang pada hakikatnya “jangan berbohong”
memang merupakan sebuah tindakan yang baik, bukan karena hasil tindakan “jangan
berbohong”. Oleh karena itu, melakukan
tindakan atau perintah yang demikian merupakan “keharusan objektif” yang muncul
sebagai perintah budi, sedang rumusan dari perintah itu disebut imperatif.
Imperatif
Kategoris merupakan perintah moral yang mutlak sehingga semua tingkah laku yang
diwajibkannya adalah baik dalam arti moral, yang bukan baik dalam arti hanya
sebagai sarana untuk mencapai suatu tujuan. Kant sangat menentang manusia
sebagai alat atau sarana dalam mencapai suatu tujuan (walaupun itu kebaikan),
hubungan antar sesama manusia dapat mengaburkan arti dari kebaikan itu sendiri
atas dasar kepentingan-kepentingan tertentu, disini Kant memposisikan manusia di
tempat tertinggi sebagai subjek kebaikan. Bentuk Imperatif yang hanya sebagai
sarana untuk mencapai tujuan ini disebut sebagai Imperatif Hipotesis. Dengan
demikian tindakan yang dilakukan mengandung muatan egoistis, individual,
situasional dan partikular.
Imperatif Kategoris sebagai Formula Perbaikan Moralitas para Penegak Hukum
Imperatif Kategoris sebagai Formula Perbaikan Moralitas para Penegak Hukum
Mengingat
carut marutnya moralitas para penegak hukum di Indonesia baik Hakim, Pengacara,
Kejaksaan dan Kepolisian, pemahaman terhadap etika imperatif kategoris Immanuel
Kant patut dipertimbangkan dengan harapan dapat terciptanya kebaikan tertinggi
yang bersumber dari kehendak yang ditentukan oleh hukum moral. Dimana seperti
yang telah dijelaskan diawal. Berbuat baik karena memang itu merupakan tindakan
yang baik sebagai kewajiban moral, bukan berbuat baik atas dasar imbalan.
Lebih
lanjut Kant menjelaskan bahwa hasil dari imperatif kategoris merupakan
imortalitas jiwa, yakni keabadian jiwa yang banyak diartikan sebagai Kebaikan (virtue) dan Kebahagiaan (happiness). Alangkah baiknya apabila
diterapkan dalam setiap diri catur penegak hukum di Indonesia mengenai
Imperatif kategoris ini. Tidak akan lagi kita melihat pengacara membela
koruptor, suap menyuap dalam lingkungan peradilan dan kejaksaan, serta korupsi
dalam tubuh kepolisian. Semuanya melakukan sesuatu yang baik karena memang ia
adalah baik, dan menurut Kant di dalam kehendak yang baik tersebut terdapat
eksistensi Tuhan sebagai kebaikan tertinggi
Kesimpulan
Bila
kita mencermati etika Kant, maka disana terdapat dimensi religius, teologis,
dan deontologis. Kant memang menyingkirkan tujuan dalam setiap tindakan yang
mana menjadikan celah-celah kritik dalam bangunan etika ini. Namun perlu di
catat bahwa Kant pada hakikatnya memberikan landasan dan arahan agar manusia
berbuat baik serta bermoral baik atas dasar kreasi dan kesadaran diri sesuai
dengan otonomi kehendak yang dimilikinya. Kesadaran ini merupakan kebaikan
tertinggi untuk mencapai moral yang luhur dimana Tuhan ditempatkan.
Dengan berpegangan pada bangunan etika ini bisa kita bayangkan dunia yang
harmoni dan penuh dengan kebaikan-kebaikan yang melahirkan keadilan yang
berdasarkan pada cita sosial Masyarakat.
No comments:
Post a Comment