Bapak Sosialisme Karl Marx mengatakan bahwa agama itu adalah candu. Namun kita jangan salah tafsiran mengenai kata candu dari apa yang disampaikan oleh Marx. Agama dikatakan candu apabila ada relasi antara kekuasaan dengan agama, hal ini menyebabkan timbulnya ketidak bebasan individu dalam ruang sosial, politik dan ekonomi yang dilegitimasi oleh agama. Pernyataan Marx muncul ditengah-tengah relasi yang kuat antara agama dengan kekuasaan di eropa silam. Kekuasaan gereja katolik pada masa itu turut
mendukung pengambilan keputusan penguasa yang cenderung merugikan rakyat, bahkan tak jarang gereja mengeluarkan fatwa/keputusan yang terkait dengan kepentingan penguasa yang berdampak pada kesengsaraan rakyat.
Hal-hal tersebutlah yang melatar belakangi penyataan seorang Filusof asal Jerman yang lewat pemikiran-pemikirannya menjadi salah satu kutub pergerakan dunia hingga saat ini. Marx bukan berarti anti agama, namun menyaksikan realitas agama yang tunduk di dalam jepitan ketiak penguasa dan ikut menambah kesengsaraan masyarakat maka Marx berkesimpulan bahwa agama adalah candu.
Pada sekitar tahun 1960-an, di daerah amerika latin muncul pergerakan keagamaan (kristen) yang berani menentang kekuasaan melalui perantara ayat-ayat dari kitab suci. Gerakan yang salah satunya diawali oleh pemuka agama kristiani asal Peru, Gustavo Gutierrez ini. Mencoba untuk menciptakan paradigma baru dalam beragama, dengan buku nya yang berjudul Liberation Theology-persective. Gustavo mengguncang dunia kegerejaan internasional, lebih jauh, ajaran yang mengajak untuk melawan tirani yang alim ini dibubuhi cap sesat oleh kalangan gereja Vatikan sebagai poros utama dunia kegerejaan.
Teologi Pembebasan seakan memberikan asa bagi para pemeluk agama yang teralienasi dari kejamnya kehidupan, mereka hidup miskin, sengsara, dan tak bisa mendapatkan hak-haknya secara penuh. Orang-orang dari golongan ini biasanya muncul dari kalangan buruh, petani, pengemis, gelandangan, dan lain-lain. Dengan mengadopsi teori-teori Marxis Ajaran ini selanjutnya menjadi sub kultur baru dalam lingkungan keagamaan kristiani dengan menyebut diri mereka sebagai golongan kristen kiri. Maka terminologi teologi pembebasan yang muncul sekitar awal tahun 60-an ini seakan menjadi sebuah anti-tesis atas pernyataan Marx yang menyatakan bahwa agama adalah candu masyarakat, hingga gerakan ini menjadi salah satu gerakan yang ditakuti oleh penguasa, oleh karenanya seringkali gerakan keagamaan menjadi salah satu prioritas penguasa dalam meredam keberadaan gerakan ini agar tidak mengancam status quo.
Teologi Pembebasan dalam Islam
Kemudian yang menjadi pertanyaan, bagaimana dengan islam? Apakah ajaran teologi pembebasan ada di dalam tubuh islam?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut ada baiknya kita kembali melihat sejarah perjuangan Muhammad dalam menyebarkan agama islam di Mekkah.
Muhammad lahir ditengah-tengah memburuknya situasi sosial, ekonomi dan politik di Mekkah. Semangat barbarianisme, serta kesukuan yang menjadi dasar berprilaku masyarakat arab pada waktu itu senantiasa mempertontonkan ha-hal yang diluar batas kemanusiaan. buruh tak dibayar, budak diperjual-belikan, perempuan dapat diperjual belikan maupun ditukar bila ada yang berkenan, bayi perempuan dikubur hidup-hidup karena menjatuhkan martabat keluarga.
Potret realitas masyarakat arab diatas seakan menjelaskan bahwa Muhammad punya tugas berat dalam memberangus penindasan dan keserakahan. Kemuadian pada usianya yang menginjak 40 tahun Muhammad diangakat menjadi Nabi dan menggemparkan seisi kota Mekkah dengan aksi-aksinya. Muhammad menyerukan untuk menghormati perembuan, membayar budak sebelum kering keringatnya (hadis), melarang memperjual belikan manusia, serta meredam semangat kesukuan, karena manusia adalah sama (equal) di mata Tuhan dan yang membedakan nya hanyalah ketakwaannya. Oleh karenanya ahli hukum dari Sudan Abdullahi Ahmed An-Na’im mengatakan bahwa, dalam memandang persoalan kemanusiaan sebaiknya umat islam kembali merujuk kepada ayat-ayat Makkiyah, dan meninggalkan ayat-ayat madaniyah, karena menurut An-Na’im, ayat Madaniyah menggambar kan psosisi kemapanan umat islam, sehingga secara praksis cenderung ada unsur keegoisan karena hanya mementingkan diri umat islam saja.
Ashgar Ali Engineer menjelaskan bahwa islam memiliki beberapa tujuan dasar, diantaranya, Persamaan (equality), Persaudaraan yang universal (universal brotherhood) dan keadilan sosial (social justice). Selanjutnya ia beranggapan bahwa hal-hal tersebut lah yang menjadi nilai-nilai dasar dalam islam. Nilai tersebut akan tetap selalu ada, tidak dapat berubah karena seperti itulah kehendak yang diinginkan Tuhan melalui Al-Qur’an.
Di Indonesia kita mengenal nama H. M. Misbach. Tokoh Sarekat Islam ini juga menjadi salah satu penggerak kaum ploletar pada masa penjajahan belanda. Seorang salih yang berasal dari keturunan keraton Surakarta ini secara tegas dan lantang menolak feodalisme di negara kita.Tokoh yang terkenal dengan jargonnya “Belum Islam kalau belum Sosialis” ini juga terlibat dalam aksi pemogokan buruh beberapa kali, dan ia semakin dikenal dengan tulisan-tulisannya pada harian Medan Moeslimin, yang sangat provokatif dan memberikan semangat perlawanan terhadap kolonial belanda. Misbach yang juga ikut kecewa terhadap kebijakan-kebijakan Sarekat Islam yang dipimpin oleh H.O.S Tjokroaminoto ini, bersama Semaoen membangun Sarekat Islam Merah (SI Merah) yang selanjutnya berubah menjadi Partai Komunis Indonesia. Walaupun Misbach berada dalam PKI, namun keistiqomahannya dalam membela kaum-kaum tertindas tetap terjagi hingga akhir hayatnya. Misbach dibuang pemerintah Belanda ke Manokwari dan wafat disana.
Dewasa ini kita sulit sekali temukan teolog-teolog yang punya keberpihakan terhadap kaum-kaum tertindas, bahkan yang sering kita jumpai teolog masa sekarang justru mendukung status quo dengan fatwa-fatwanya, sebut saja MUI yang belakangan ini pernah mengeluarkan fatwa haramnya premium bersubsidi. Ini jelas memperlihatkan bahwa kini fatwa telah menjadi alat dalam mendukung program pemerintah.
Para pemuka agama juga cenderung sangat ritualis, dogmatis dan bersifat metafisis yang membingungkan. Asghar Ali Engineer menyebutkan bahwa dengan wajah yang seperti ini, agama sama saja dengan mistik dan menghipnotis masyarakat. teologi hanya berupa seikat ritual yang tidak memiliki ruh, tidak menyentuh kepentingan kaum tertindas dan para pekerja kasar serta menjadi latihan intelektual dan metafisis atau mistis yang abstrak bagi kalangan kelas menengah. Disadari atau tanpa disadari fiqh klasik yang dirumuskan oleh ulama dari dinasti Umayyah, Abasyiah, dsb. Juga mendukung kemandekan proses berpikir kritis umat islam, belum lagi banyak beredar hadis dan fatwa yang disinyalir palsu karena mendukung pemerintah secara penuh. Umat dijebak dan sengaja dinyamankan dengan ritual-ritual keagamaan dengan janji-janji surga sedangkan ia tak menyadari di sisi lain terdapat sekelompok manusia yang ditindas, direbut hak-haknya, dan hidup dalam kesengsaraan.
Umat islam harusnya menyadari realita ini. Tapi kita tetap saja terjebak dalam dogma-dogma klasisk, sehingga ujung-ujungnya pemikiran seperti ini disebut “kiri”, “Komunis”, atau lainnya. Alasan yang sengaja dibuat-buat, karena sejatinya watak-watak penindas telah tertanam dalam kepribadiannya sehingga wajar saja apabila Marx mengatakan bahwa Agama itu adalah candu masyarakat!!
No comments:
Post a Comment