Ramadhan adalah bulan penuh, berkah, rahmat, serta ampunan. Bulan yang biasanya para mubaligh membahasakannya dengan, bulan yang sedang obral pahala di dalamnya. Sebagai seorang Muslim kita telah di minta baiat-nya oleh Allah ketika masih di alam ruh, “Alastu bi rabbikum” “Qolu bala syahidna”, itulah ikrar suci yang kita ucapkan di hadapan sang khaliq sebelum sang ruh ditiupkan ke dalam rahim sang ibu dan selanjutnya dilahirkan sebagai seorang makhluk sempurna yang bernama manusia.
Janji yang sudah kita ikrarkan di hadapan sang khaliq tentunya memiliki minimal dua konsekuensi yang harus dijalankan, terlebih lagi setelahnya di dunia, ikrar tersebut semakin di perkuat dengan kalimat Syahadat “asyhadu ala ilahaillah, wa asyhaduanna muhammadurrasulullah” , sehingga ikrar manusia dengan Sang Khaliq semakin mempunyai kekuatan hukum yang kuat dan akan berdampak bagi setiap manusia yang mencoba untuk melanggar janji yang sudah disepakati bersama tersebut. Konsekuensi yang timbul dari ikrar suci tersebut diantaranya adalah:
Manusia harus mentaati segala sesuatu yang telah diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya, ini adalah wujud ketaatan/loyalitas/al-wala atau kesetiaan kepada sang khaliq ditambah lagi Islam adalah agama yang rapi dan teratur, hal tersebut diwujudkan dengan adanya suatu konsep yang diterapkan dalam menjalankan setiap perintah agama, yaitu reward and punishment. Dalam surat Asy-Syams Allah SWT berfirman “Fahal hamaha fujuroha wa taqwaha” yang artinya “Allah memberikan kepada manusia kecenderungan untuk berbuat baik dan kecenderungan untuk berbuat buruk, dalam ayat selanjutnya “qod af lahaman dzakkaha, wa qod khobaman dassaha” yang artinya “ beruntunglah orang yang mensucikan dirinya, dan merugilah orang yang mengotori dirinya”. Ini bisa bermakna ada konsep reward and punishment yang diterapkan Allah SWT dalam menerapkan syariat agamanya, dalam arti lain maka orang-orang yang mensucikan dirinya akan mendapatkan reward atau hadiah, dan orang yang mengotori dirinya akan mendapatkan hukuman atau balasan dari apa yanng ia perbuat. Maka konsekuensi awal yang muncul adalah setiap mukmin harus mentaati segala apa yang di perintahkan dan menjauhi segala yang dilarang oleh-Nya.
Menerima kekuasaan Allah yang mutlak atas segala sesuatu, mungkin bagi sebagian orang seperti filusuf, dan pemikir-pemikir lainnya ini sulit untuk diterima, karena seakan-akan membelenggu ilmu pengetahuan, ruang gerak dan kemajuan. Namun sebagai seorang mukmin, eksistensi Allah sebagai penguasa alam raya beserta seluruh apa yang ada di dalamnya merupakan sebuah keharusan dan ancaman bagi yang tidak mengimani hal tersebut. Ini juga merupakan konsekuensi atas apa yang kita ikrarkan pada saat di alam ruh, maupun ketika di dunia dan merupakan wujud ketaatan kita kepada Sang Khaliq atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikan oleh-Nya kepada setiap manusia.
Mengingat bahwa dua konsekuensi tersebut adalah aspek minimal yang harus dimiliki oleh setiap muslim, maka seharusnya tidak ada alasan bagi setiap muslim untuk tidak menjalankan konsekuensi yang sudah menjadi kewajiban bagi setiap insan yang mengaku muslim dan bertuhankan Allah. Namun kenyataan yang terjadi adalah tidak sedikit kaum muslimin yang berkilah dari apa yang telah ditentukan, menjadi hamba yang melakukan sesuatu mengikuti hawa nafsunya atau seenak udelnya saja, padahal ikrar yang telah diucapkan kepada Allah (syahadat) menurut Sayyid Quthb bahwa “ikrar la ilaha illallah adalah sebuah revolusi besar yang merampas hak-hak ketuhanan, dan upaya untuk berlepas diri dari kekuasaan yang mengatur manusia selain kekuasaan dari Allah semata”.
Dengan demikian bisa kita tarik kesimpulan dari pernyataan Sayyid Quthb , bahwa ikrar la ilaha illallah merupakan wujud kepasrahaan manusia atas segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah keduniawian atau wujud penyerahan diri manusia kepada Allah mengenai segala sesuatu yang mengatur manusia maka konsekuensi yang timbul adalah tidak ada yang berhak atas diri manusia kecuali Allah.
Manusia era sekarang cenderung mempunyai hubungan yang kurang harmonis dengan Allah, walaupun kita ketahui bersama, bahwa Allah tetap senantiasa mencintai hambanya tidak melihat apakah ia beriman atau tidak, ini diwujudkan dengan rahmat yang begitu besar yang Ia berikan kepada manusia berupa kehidupan, tubuh, dan nikmat lainnya. Dengan melihat dua konsekuensi yang telah dijelaskan sebelumnya, marilah kita bercermin kepada diri kita, tentang bagaimana kualitas diri kita, kepantasan kita sebagai makhluk yang telah diberi akal dengan begaimana dapat mensyukuri segala nikmat dan karunia yang telah diberikan oleh-Nya. Maka berkenaan dengan momentum bulan ramadhan 1432 H, mari kita perbaiki hubungan kita dengan sang Khaliq, di bulan yang mulia dan penuh rahmat serta barokah ini mari kita lakukan rekonsiliasi dengan Allah. Dengan berharap ampunan dan ridho-Nya serta bersemangat mengejar iming-iming gelar Taqwa dan Jannah yang telah disiapkan oleh-Nya. Waullahu’alam bish shawab
Mhs Syari'ah FIAI UII
Ilustrasi : http://dheeta.student.umm.ac.id/files/2010/08/20090123142928.jpg
No comments:
Post a Comment