"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian"- Om Pram
Wednesday, December 5, 2012
Dialektika
Dialektika sebagai proses merupakan hal lumrah yang terjadi pada diri manusia. sebagaimana yang jelaskan oleh para psikolog, bahwa manusia adalah makhluk paradoksal yang senantiasa dapat berubah-ubah. Suatu saat mengatakan A kemudian mengakatan B, sesuai dari apa yang pernah diterimanya baik dari buku, diskusi, maupun refleksi pemikiran. ini bukan mengenai inkonsistensi, melainkan proses belajar. mengubah keputusan bukanlah sebuah malapetaka, melainkan munculnya pertimbangan yang menjadi pemicu diubahnya sebuah keputusan. kamu belajar, berpikir kemudian merefleksikan nya berpotensi terjadinya perubahan. dipertanyakan ketetapan sikap seseorang, yang dalam hal ini suatu sikap diambil berdasarkan proses berpikir atau penggalian realitas secara mendalam. dalam fikih kita mengenal taqlid atau ikut-ikutan, tanpa landasan pemikiran atau dasar yang jelas secara dogmatis mengapa ia memilih A, padahal A belum tentu lebih baik dari pada B.
Wednesday, June 6, 2012
Islam dan Teologi Pembebasan
Bapak Sosialisme Karl Marx mengatakan bahwa agama itu adalah candu. Namun kita jangan salah tafsiran mengenai kata candu dari apa yang disampaikan oleh Marx. Agama dikatakan candu apabila ada relasi antara kekuasaan dengan agama, hal ini menyebabkan timbulnya ketidak bebasan individu dalam ruang sosial, politik dan ekonomi yang dilegitimasi oleh agama. Pernyataan Marx muncul ditengah-tengah relasi yang kuat antara agama dengan kekuasaan di eropa silam. Kekuasaan gereja katolik pada masa itu turut
Thursday, March 22, 2012
Universalitas Hak Asasi Manusia Perspektif Abdullahi Ahmed An-Na’im (Tinjauan atas Metode Dekonstruksi Syari’ah An-Na’im)
Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan sumber terpenting dalam hukum islam (Syari’ah). dari sanalah diambil aturan atau tuntunan praktis bagi umat islam dalam menjalani kehidupan. Karena Al-Qur’an adalah kitab suci mulia, yang datang langsung dari Tuhan (Wahyu) yang disampaikan kepada manusia mulia (Nabi) untuk di sampaikan kepada umat manusia.. Asumsi dasar tersebutlah yang menjadikan Al-Qur’an diyakini sebagai kitab suci yang memiliki nilai kesempurnaan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, tak lekang oleh zaman dan akan terus berelevansi dengan perubahan masyarakat, yang dianggap telah bersifat final.
Namun ditengah-tengah keyakinan umat islam kepada Al-Qur’an yang dirasa telah bersifat final, muncul sekelompok intelektual muslim yang merasa bahwa Al-Qur’an yang di yakini oleh mayoritas umat islam secara tekstual, tengah mengalami ketertinggalan zaman. mereka berpendapat bahwa harus diadakan pembaharuan hukum islam secara radikal yang sesuai dengan perkembangan dan realitas masyarakat di zaman modern.
Abdullahi Ahmed An-Naim (selanjutnya disingkat dengan An-Na’im saja) adalah salah satu dari sekian banyak intelektual muslim yang muncul dengan mengusung reformasi di dalam tubuh Syari’ah. yang dianggap tengah terjadi keterpelesetan teks dengan realitas sebagai substansi syari’ah yang menjunjung tinggi kemaslahatan bagi manusia. Melalui karyanya, An-Na’im mencetuskan term “Dekonstruksi Syari’ah”. yaitu melakukan pembacaan kembali terhadap teks-teks syari’ah yang sudah mapan, kemudian dihancurkan dengan teori-teori baru secara intoleran. Metode dekonstruksi yang digunakan oleh An-Na’im ini merupakan pengaruh dari filusuf barat yaitu Jacques Derrida. Menurut sebagian orang, dalam metode ini terdapat banyak ambiguitas dan cenderung bersifat egoistis karena mengandung banyak kepentingan-kepentingan dari penulis itu sendiri .
Metode yang digunakan oleh An-Na’im adalah yang termasuk baru dan radikal dalam bahasan pembaharuan hukum islam. Karena didalamnya terdapat banyak de-sakralisasi terhadap nash Al-Qur’an atas kesucian dan keotentikannya.
Dalam makalah ini akan dibahas yang menjadi salah satu fokus An-Na’im, yaitu Hak Asasi Manusia dalam persoalan Perbudakan, persamaan hak atas perempuan dan perlakuan terhadap non muslim di negara-negara islam fundamentalis maupun negara islam moderen.
Dekonstruksi Syari’ah An-Na’im: Tentang Hak untuk Hidup dan Hak Untuk Bebas
Dengan berpondasi pada situasi struktur sosial masyarakat di Sudan, tempat An-Na’im lahir, maka lahir pula lah gagasan yang saya rasa cukup kontroversial. Yaitu menggunakan metode dekonstruksi Derrida dalam mengadakan pembaharuan pada aspek-aspek tertentu dalam Syari’ah. dalam bukunya yang ke-2, seakan-akan ingin mengadakan tambahan untuk bukunya yang pertama, an-Na’im secara tegas menyatakan untuk tidak menggunakan term “Hukum Islam” namun lebih kepada “Syari’ah”, karena menurutnya istilah Syariah adalah formulasi historis dari sistem yang menyeluruh, meliputi norma etik, sosial, teori politik, dan konstitusional serta menyangkut hukum perdata, pidana dan publik . selanjutnya, An-Na’im menyatakan bahwa dirinya tidak perlu terlampau jauh masuk ke persoalan yang terlalu fundamental yang berkenaan dengan syariah kecuali yang sudah seperti yang diistilahkan olehnya di atas, An-Na’im memfokuskan bahasannya hanya kepada beberapa hal yang menurutnya telah dilanggar oleh syaria’ah, yaitu tentang perbudakan dan diskriminasi berdasarkan gender dan agama. Konstruksi pemikiran An-Na’im tentang Hak Asasi Manusia berangkat dari dua kekuatan utama yang memotivasi seluruh tingkah laku manusia, yaitu kehendak untuk hidup dan kehendak untuk bebas . sementara itu dari segi normatif An-Na’im mengadopsi teori dari gurunya, yaitu Mahmoud Mohamed Taha tentang pertentangannya pada ayat-ayat Madaniyah yang menurutnya cenderung eksklusif dan diwahyukan hanya untuk memberikan kepercayaan psikologis dalam berhadapan dengan serangan non muslim. sebaliknya justru ayat-ayat Makkiyah tersimpan pesan islam yang sangat fundamental dan abadi. Disana diajarkan solidaritas seluruh umat manusia, prinsip hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat global.
Dari metode yang juga tidak hanya dianggap memiliki keambiguitasan dan cenderung bersifat egoistis, An-Na’im mencoba untuk “men-nasakh” ketentuan Al-Quran tentang permasalahan gender dalam hal waris, nikah beda agama, kedudukan perempuan dengan laki-laki, dan permasalahan perbudakan yang menurut an-Na’im dilegalkan atau bahkan di-institusikan oleh syariah, serta persoalan toleransi terhadap non muslim yang dianggap oleh an-Na’im, syariah bersikap tidak adil dan kejam dalam memperlakukan non muslim yang tidak sesuai dengan nila-nilai ke-universalitas-an Hak Asasi Manusia.
Menurut An-Na’im, Syari’ah merupakan hasil dari produk pemikiran ataupun penafsiran dari otorias ulama yang dianggapnya bisa dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural-politik pada masa itu. Lantas dari anggapan tersebut, Ia berpendapat dalam mengadakan perbaikan terhadap aspek-aspek yang dilanggar oleh syari’ah, maka harus dilakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan oleh otoritas ulama dalam penyusunan syari’ah pada abad ke 3 H. Yaitu membuat suatu penafsiran baru atas teks, yang disesuakan dengan konteks perubahan dan kesesuaian zaman. Dalam bukunya An-Na’im berpendapat bahwa “ Sementara saya menyarankan justru syari’ahlah yang di revisi dari sudut pandang islam, untuk memelihara hak hak asasi manusia universal tersebut” .
Selanjutnya An-Na’im menyatakan bahwa umat islam telah mengalami ambivalensi atau ketidaksadaran bahwa syari’ah yang digunakan sekarang begitu banyak terdapat pelanggaran Hak asasi manusia dalam hak seorang manusia untuk hidup dan hak untuk bebas, maka sulit untuk merelevansikan kerangka syariah yang lama dengan praktik muslim kontemporer, maka disini harus ada rekonsilisasi syariah dengan standar-standar universal hak asasi manusia namun rekonsiliasi dapat dicapai hanya melalui pembaharuan syari’ah secara radikal .
Dalam kesimpulannya An-Na’im kembali menegaskan, bahwa perlunya diadakan pembaruan hukum islam secara radikal, hal ini dikarenakan begitu banyak peristiwa-peristiwa yang sangat merugikan citra islam di mata dunia disebabkan oleh pemberlakuan syari’ah yang sekarang diyakini oleh sebagian besar masyarakat muslim dunia, peristiwa-peristiwa tersebut lantas semakin meyakinkan An-Na’im akan ketidak sesuaian yang mencolok antara syari’ah dengan standar-standar hubungan internasional moderen dan hak-hak asasi manusia.
Pada akhir bukunya, an-Na’im menyadari bahwa wacana yang dilontarkannya tentu asing bagi sebagian besar masyarakat muslim dunia. Namun sebagai bentuk kepeduliannya dan penjunjungannya yang tinggi kepada nilai-nilai hak asasi manusia Dia bernggapan bahwa ini adalah kebenaran yang nyata dan harus ditegak kan apa pun konsekuensinya.
Hak Asasi Manusia dalam Islam
Tanpa disadari oleh sebagian orang, bahwa islam telah memiliki konsepan tentang HAM lebih dahulu daripada yang ada dan diuniversalisasikan sekarang. Ini tergambarkan dengan jelas dari nash Al-Qur’an dan hadis-hadis yang telah disabdakan oleh Rasulullah Muhammad SAW 14 abad silam, diantaranya adalah;
Hadis Yang mendasari aturan HAM dalam Islam
Dari Abu Umamah bin Tsa’labah, nabi saw bersabda: "Barangsiapa merampas hak seorang muslim, maka dia telah berhak masuk neraka dan haram masuk surga." Seorang lelaki bertanya: "Walaupun itu sesuatu yang kecil, wahay rasulullah ?" Beliau menjawab: "Walaupun hanya sebatang kayu arak." (HR. Muslim)
Hak Kebebasan Beragama
"Dan seandainya Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman orang di muka bumi seluruhnya. Apakah kamu memaksa manusia supaya mereka menjadi orang beriman semuanya?" (QS. 10: 99).
Sedikit dari banyak ayat dan hadis di atas telah menjelaskan tentang hak asasi manusia yang diatur di dalam islam. Belum lagi ditambah dengan apa yang disebutkan para ulama, bahwasanya tujuan syari’ah meliputii 5 hal, yakni; menjaga akal, agama, jiwa, kehormatan dan harta benda manusia .
Islam membahas konteks HAM dalam batasan moralitas manusia, sehingga tidak sepenuhnya bebas seperti dalam pengertian para intelektual barat. Yang dalam hal ini Jean Paul Sartre, seorang filusuf beraliran eksistensialisme asal Perancis berpendapat bahwa, bebas adalah bebas yang tidak terikat kepada nilai-nilai apapun, termasuk nilai ketuhanan sekalipun, dianalogikan dengan seorang budak dapat dikatakan bebas, apabila ia benar-benar bebas, tidak bisa seorang budak dikatakan bebas walaupun ia hidup sejahtera dibawah majikannya. Maka menurut Sartre dalam hal kebebasan adalah kebebasan yang benar-benar bebas, tanpa nilai yang mendasari kehidupannya.
Dengan demikian hal ini tentu saja bertentangan dengan ajaran islam yang mengharuskan penganutnya untuk menjadikan Al-Qur’an dan Hadis sebagai pondasi paling dasar bagi seorang muslim dalam berpikir dan dalam menjalani kehidupan di dunia.
Kritik Terhadap Pemikiran An-Na’im
Seperti yang saya telah ungkap bahwa, pemikiran An-Na’im menggunakan metode dekonstruksi yang dirumuskan oleh derida telah disebutkan banyak terkandung keambiguitasan dan bersifat egoistis, apalagi An-Na’im terpengaruh dari situasi sosio-kultural-politik Sudan, negara kelahiran An-Na’im. Hal ini dapat kita lihat dari bagaimana An-Naim melontarkan argumennya, dengan mengatakan bahwa Syari’ah sudah merupakan kumpulan aturan yang tidak relevan lagi untuk di trapkan di zaman moderen. Dalam karyanya, An-Na’im juga secara implisit terlihat sisi emosionalnya, karena Gurunya yaitu Mahmoud Muhammad Taha yang mati di Hukum mati oleh pemerintahan negara Sudan yang menerapkan syari’ah.
Berangkat dari pondasi itulah menurut saya pemikiran “Dekonstruksi Syari’ah” ini lahir. Ditambah lagi An-Na’im mulai berani membongkar teks suci yang mengatakan bahwa menurutnya, prioritas pertama yang harus dibongkar adalah hubungan yang oleh umat Islam dianggap transenden antara syariat dan Islam atau antara syariat dan sumber sucinya al-Qur’an dan al-Sunnah. Ide dekonstruksi yang diadopsi an-Na’im dimaksudkan untuk memisahkan secara dikotomik hubungan antara dimensi historisitas yang aturannya selalu berubah-ubah, dengan normativitas teks-teks wahyu (al-Qur’an dan al-Sunnah), yang sesuai dengan waktu dan tempat, Ide ini dimaksudkan juga untuk melelehkan kalau tidak menghancurkan pemikiran keagamaan yang olehnya telah disakralkan oleh umat Islam. Hal ini bisa dilihat dari pernyataan an-Na’im bahwa syariat itu sesungguhnya tidak bersifat ilahiyah maka disana terjadi desakralisasi atas kesucian teks-teks suci Al-Qur’an.
“The techniques through which Shari’a was derived from the devine sources and the ways in which its fundamental concepts and principles were formulated are clearly the product of the intellectual, social, and political processes of Muslim history.”
(Teknik-teknik penjabaran syariat dari sumber sucinya dan cara-cara penyusunan konsep dan prinsip fundamentalnya, jelas merupakan produk proses sejarah intelektual, sosial, dan politik umat Islam.)
Selanjutnya, kritik yang paling sering dilontarkan kepada An-Na’im adalah munculnya kontradiktif atas pemikirannya yang mencoba menggeser substansi dari ayat-ayat al-Qur’an yang menurutnya bersifat historis kepada realitas kekinian, dalam hal ini Dia mencoba me-relevansikan substansial teks kepada ke-universalitas-an HAM. Hal ini memunculkan kritik bahwa An-Na’im tengah mengalami ambivalensi karena dirinya pun terjebak dalam pembacaan “teks realitas” dalam menggiring nash ke dalam kondisi kekinian.
Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai pemikiran Abdullahi Ahmed An-Na’im diatas dapat disimpulkan bahwa An-Na’im menggunakan metode yang bisa dikatakan sangat berani dalam membongkar konstruksi syari’ah yang sudah mapan dan mengakar di sebagian besar masyarakat muslim, yaitu menggunakan dekonstruksi Derrida dan biasanya hanya digunakan dalam pembacaan teks-teks filsafat atau yang bersifat ilmiah (akademik). Namun disini An-Na’im melakukannya pada teks suci Al-Qur’an dengan melepaskan anggapan bahwa Islam diajarkan berdasarkan ide seorang Muhammad yang terpengaruh kondisi sosio-kultural-politik masyarakat arab, bukan berdasarkan wahyu yang bersifat absolut dan tak terbantahkan, berarti disana An-Na’im melakukan proses desakralisasi terhadap teks-teks AlQur’an.
Kemudian secara ambivalensi, An-Na’im tak sadar bahwa permainan rasionalitasnya dalam membongkar teks-teks Al-Qur’an terdapat sedikit celah yang disitu masuk sisi emosional dari seorang An-Na’im, karena pemikiran yang dicetuskannya ini tak lepas dari kondisi sosio-kultural-politik di negara Sudan sendiri. Karena disana telah terjadi banyak pelanggaran HAM disebabkan oleh penerapan syari’ah dari otoritas kepemimpinan maupun otoritas agama.
Selanjutnya An-Na’im pun tadak menolak bahwa apa yang diwacanakan ini bersifat radikal dan sulit untuk diterima, namun dirinya tetap bersikeukeuh bahwa hal ini harus tetap dilakukan, kalau tidak akan menimbulkan kerugian terhadap islam itu sendiri di mata dunia(barat) serta demi menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang menurutnya tidak ada dalam kerangka syari’ah klasik.
Al-Qur’an merupakan sumber terpenting dalam hukum islam (Syari’ah). dari sanalah diambil aturan atau tuntunan praktis bagi umat islam dalam menjalani kehidupan. Karena Al-Qur’an adalah kitab suci mulia, yang datang langsung dari Tuhan (Wahyu) yang disampaikan kepada manusia mulia (Nabi) untuk di sampaikan kepada umat manusia.. Asumsi dasar tersebutlah yang menjadikan Al-Qur’an diyakini sebagai kitab suci yang memiliki nilai kesempurnaan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, tak lekang oleh zaman dan akan terus berelevansi dengan perubahan masyarakat, yang dianggap telah bersifat final.
Namun ditengah-tengah keyakinan umat islam kepada Al-Qur’an yang dirasa telah bersifat final, muncul sekelompok intelektual muslim yang merasa bahwa Al-Qur’an yang di yakini oleh mayoritas umat islam secara tekstual, tengah mengalami ketertinggalan zaman. mereka berpendapat bahwa harus diadakan pembaharuan hukum islam secara radikal yang sesuai dengan perkembangan dan realitas masyarakat di zaman modern.
Abdullahi Ahmed An-Naim (selanjutnya disingkat dengan An-Na’im saja) adalah salah satu dari sekian banyak intelektual muslim yang muncul dengan mengusung reformasi di dalam tubuh Syari’ah. yang dianggap tengah terjadi keterpelesetan teks dengan realitas sebagai substansi syari’ah yang menjunjung tinggi kemaslahatan bagi manusia. Melalui karyanya, An-Na’im mencetuskan term “Dekonstruksi Syari’ah”. yaitu melakukan pembacaan kembali terhadap teks-teks syari’ah yang sudah mapan, kemudian dihancurkan dengan teori-teori baru secara intoleran. Metode dekonstruksi yang digunakan oleh An-Na’im ini merupakan pengaruh dari filusuf barat yaitu Jacques Derrida. Menurut sebagian orang, dalam metode ini terdapat banyak ambiguitas dan cenderung bersifat egoistis karena mengandung banyak kepentingan-kepentingan dari penulis itu sendiri .
Metode yang digunakan oleh An-Na’im adalah yang termasuk baru dan radikal dalam bahasan pembaharuan hukum islam. Karena didalamnya terdapat banyak de-sakralisasi terhadap nash Al-Qur’an atas kesucian dan keotentikannya.
Dalam makalah ini akan dibahas yang menjadi salah satu fokus An-Na’im, yaitu Hak Asasi Manusia dalam persoalan Perbudakan, persamaan hak atas perempuan dan perlakuan terhadap non muslim di negara-negara islam fundamentalis maupun negara islam moderen.
Dekonstruksi Syari’ah An-Na’im: Tentang Hak untuk Hidup dan Hak Untuk Bebas
Dengan berpondasi pada situasi struktur sosial masyarakat di Sudan, tempat An-Na’im lahir, maka lahir pula lah gagasan yang saya rasa cukup kontroversial. Yaitu menggunakan metode dekonstruksi Derrida dalam mengadakan pembaharuan pada aspek-aspek tertentu dalam Syari’ah. dalam bukunya yang ke-2, seakan-akan ingin mengadakan tambahan untuk bukunya yang pertama, an-Na’im secara tegas menyatakan untuk tidak menggunakan term “Hukum Islam” namun lebih kepada “Syari’ah”, karena menurutnya istilah Syariah adalah formulasi historis dari sistem yang menyeluruh, meliputi norma etik, sosial, teori politik, dan konstitusional serta menyangkut hukum perdata, pidana dan publik . selanjutnya, An-Na’im menyatakan bahwa dirinya tidak perlu terlampau jauh masuk ke persoalan yang terlalu fundamental yang berkenaan dengan syariah kecuali yang sudah seperti yang diistilahkan olehnya di atas, An-Na’im memfokuskan bahasannya hanya kepada beberapa hal yang menurutnya telah dilanggar oleh syaria’ah, yaitu tentang perbudakan dan diskriminasi berdasarkan gender dan agama. Konstruksi pemikiran An-Na’im tentang Hak Asasi Manusia berangkat dari dua kekuatan utama yang memotivasi seluruh tingkah laku manusia, yaitu kehendak untuk hidup dan kehendak untuk bebas . sementara itu dari segi normatif An-Na’im mengadopsi teori dari gurunya, yaitu Mahmoud Mohamed Taha tentang pertentangannya pada ayat-ayat Madaniyah yang menurutnya cenderung eksklusif dan diwahyukan hanya untuk memberikan kepercayaan psikologis dalam berhadapan dengan serangan non muslim. sebaliknya justru ayat-ayat Makkiyah tersimpan pesan islam yang sangat fundamental dan abadi. Disana diajarkan solidaritas seluruh umat manusia, prinsip hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat global.
Dari metode yang juga tidak hanya dianggap memiliki keambiguitasan dan cenderung bersifat egoistis, An-Na’im mencoba untuk “men-nasakh” ketentuan Al-Quran tentang permasalahan gender dalam hal waris, nikah beda agama, kedudukan perempuan dengan laki-laki, dan permasalahan perbudakan yang menurut an-Na’im dilegalkan atau bahkan di-institusikan oleh syariah, serta persoalan toleransi terhadap non muslim yang dianggap oleh an-Na’im, syariah bersikap tidak adil dan kejam dalam memperlakukan non muslim yang tidak sesuai dengan nila-nilai ke-universalitas-an Hak Asasi Manusia.
Menurut An-Na’im, Syari’ah merupakan hasil dari produk pemikiran ataupun penafsiran dari otorias ulama yang dianggapnya bisa dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural-politik pada masa itu. Lantas dari anggapan tersebut, Ia berpendapat dalam mengadakan perbaikan terhadap aspek-aspek yang dilanggar oleh syari’ah, maka harus dilakukan hal yang sama seperti apa yang dilakukan oleh otoritas ulama dalam penyusunan syari’ah pada abad ke 3 H. Yaitu membuat suatu penafsiran baru atas teks, yang disesuakan dengan konteks perubahan dan kesesuaian zaman. Dalam bukunya An-Na’im berpendapat bahwa “ Sementara saya menyarankan justru syari’ahlah yang di revisi dari sudut pandang islam, untuk memelihara hak hak asasi manusia universal tersebut” .
Selanjutnya An-Na’im menyatakan bahwa umat islam telah mengalami ambivalensi atau ketidaksadaran bahwa syari’ah yang digunakan sekarang begitu banyak terdapat pelanggaran Hak asasi manusia dalam hak seorang manusia untuk hidup dan hak untuk bebas, maka sulit untuk merelevansikan kerangka syariah yang lama dengan praktik muslim kontemporer, maka disini harus ada rekonsilisasi syariah dengan standar-standar universal hak asasi manusia namun rekonsiliasi dapat dicapai hanya melalui pembaharuan syari’ah secara radikal .
Dalam kesimpulannya An-Na’im kembali menegaskan, bahwa perlunya diadakan pembaruan hukum islam secara radikal, hal ini dikarenakan begitu banyak peristiwa-peristiwa yang sangat merugikan citra islam di mata dunia disebabkan oleh pemberlakuan syari’ah yang sekarang diyakini oleh sebagian besar masyarakat muslim dunia, peristiwa-peristiwa tersebut lantas semakin meyakinkan An-Na’im akan ketidak sesuaian yang mencolok antara syari’ah dengan standar-standar hubungan internasional moderen dan hak-hak asasi manusia.
Pada akhir bukunya, an-Na’im menyadari bahwa wacana yang dilontarkannya tentu asing bagi sebagian besar masyarakat muslim dunia. Namun sebagai bentuk kepeduliannya dan penjunjungannya yang tinggi kepada nilai-nilai hak asasi manusia Dia bernggapan bahwa ini adalah kebenaran yang nyata dan harus ditegak kan apa pun konsekuensinya.
Hak Asasi Manusia dalam Islam
Tanpa disadari oleh sebagian orang, bahwa islam telah memiliki konsepan tentang HAM lebih dahulu daripada yang ada dan diuniversalisasikan sekarang. Ini tergambarkan dengan jelas dari nash Al-Qur’an dan hadis-hadis yang telah disabdakan oleh Rasulullah Muhammad SAW 14 abad silam, diantaranya adalah;
Hadis Yang mendasari aturan HAM dalam Islam
Dari Abu Umamah bin Tsa’labah, nabi saw bersabda: "Barangsiapa merampas hak seorang muslim, maka dia telah berhak masuk neraka dan haram masuk surga." Seorang lelaki bertanya: "Walaupun itu sesuatu yang kecil, wahay rasulullah ?" Beliau menjawab: "Walaupun hanya sebatang kayu arak." (HR. Muslim)
Hak Kebebasan Beragama
"Dan seandainya Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman orang di muka bumi seluruhnya. Apakah kamu memaksa manusia supaya mereka menjadi orang beriman semuanya?" (QS. 10: 99).
Sedikit dari banyak ayat dan hadis di atas telah menjelaskan tentang hak asasi manusia yang diatur di dalam islam. Belum lagi ditambah dengan apa yang disebutkan para ulama, bahwasanya tujuan syari’ah meliputii 5 hal, yakni; menjaga akal, agama, jiwa, kehormatan dan harta benda manusia .
Islam membahas konteks HAM dalam batasan moralitas manusia, sehingga tidak sepenuhnya bebas seperti dalam pengertian para intelektual barat. Yang dalam hal ini Jean Paul Sartre, seorang filusuf beraliran eksistensialisme asal Perancis berpendapat bahwa, bebas adalah bebas yang tidak terikat kepada nilai-nilai apapun, termasuk nilai ketuhanan sekalipun, dianalogikan dengan seorang budak dapat dikatakan bebas, apabila ia benar-benar bebas, tidak bisa seorang budak dikatakan bebas walaupun ia hidup sejahtera dibawah majikannya. Maka menurut Sartre dalam hal kebebasan adalah kebebasan yang benar-benar bebas, tanpa nilai yang mendasari kehidupannya.
Dengan demikian hal ini tentu saja bertentangan dengan ajaran islam yang mengharuskan penganutnya untuk menjadikan Al-Qur’an dan Hadis sebagai pondasi paling dasar bagi seorang muslim dalam berpikir dan dalam menjalani kehidupan di dunia.
Kritik Terhadap Pemikiran An-Na’im
Seperti yang saya telah ungkap bahwa, pemikiran An-Na’im menggunakan metode dekonstruksi yang dirumuskan oleh derida telah disebutkan banyak terkandung keambiguitasan dan bersifat egoistis, apalagi An-Na’im terpengaruh dari situasi sosio-kultural-politik Sudan, negara kelahiran An-Na’im. Hal ini dapat kita lihat dari bagaimana An-Naim melontarkan argumennya, dengan mengatakan bahwa Syari’ah sudah merupakan kumpulan aturan yang tidak relevan lagi untuk di trapkan di zaman moderen. Dalam karyanya, An-Na’im juga secara implisit terlihat sisi emosionalnya, karena Gurunya yaitu Mahmoud Muhammad Taha yang mati di Hukum mati oleh pemerintahan negara Sudan yang menerapkan syari’ah.
Berangkat dari pondasi itulah menurut saya pemikiran “Dekonstruksi Syari’ah” ini lahir. Ditambah lagi An-Na’im mulai berani membongkar teks suci yang mengatakan bahwa menurutnya, prioritas pertama yang harus dibongkar adalah hubungan yang oleh umat Islam dianggap transenden antara syariat dan Islam atau antara syariat dan sumber sucinya al-Qur’an dan al-Sunnah. Ide dekonstruksi yang diadopsi an-Na’im dimaksudkan untuk memisahkan secara dikotomik hubungan antara dimensi historisitas yang aturannya selalu berubah-ubah, dengan normativitas teks-teks wahyu (al-Qur’an dan al-Sunnah), yang sesuai dengan waktu dan tempat, Ide ini dimaksudkan juga untuk melelehkan kalau tidak menghancurkan pemikiran keagamaan yang olehnya telah disakralkan oleh umat Islam. Hal ini bisa dilihat dari pernyataan an-Na’im bahwa syariat itu sesungguhnya tidak bersifat ilahiyah maka disana terjadi desakralisasi atas kesucian teks-teks suci Al-Qur’an.
“The techniques through which Shari’a was derived from the devine sources and the ways in which its fundamental concepts and principles were formulated are clearly the product of the intellectual, social, and political processes of Muslim history.”
(Teknik-teknik penjabaran syariat dari sumber sucinya dan cara-cara penyusunan konsep dan prinsip fundamentalnya, jelas merupakan produk proses sejarah intelektual, sosial, dan politik umat Islam.)
Selanjutnya, kritik yang paling sering dilontarkan kepada An-Na’im adalah munculnya kontradiktif atas pemikirannya yang mencoba menggeser substansi dari ayat-ayat al-Qur’an yang menurutnya bersifat historis kepada realitas kekinian, dalam hal ini Dia mencoba me-relevansikan substansial teks kepada ke-universalitas-an HAM. Hal ini memunculkan kritik bahwa An-Na’im tengah mengalami ambivalensi karena dirinya pun terjebak dalam pembacaan “teks realitas” dalam menggiring nash ke dalam kondisi kekinian.
Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai pemikiran Abdullahi Ahmed An-Na’im diatas dapat disimpulkan bahwa An-Na’im menggunakan metode yang bisa dikatakan sangat berani dalam membongkar konstruksi syari’ah yang sudah mapan dan mengakar di sebagian besar masyarakat muslim, yaitu menggunakan dekonstruksi Derrida dan biasanya hanya digunakan dalam pembacaan teks-teks filsafat atau yang bersifat ilmiah (akademik). Namun disini An-Na’im melakukannya pada teks suci Al-Qur’an dengan melepaskan anggapan bahwa Islam diajarkan berdasarkan ide seorang Muhammad yang terpengaruh kondisi sosio-kultural-politik masyarakat arab, bukan berdasarkan wahyu yang bersifat absolut dan tak terbantahkan, berarti disana An-Na’im melakukan proses desakralisasi terhadap teks-teks AlQur’an.
Kemudian secara ambivalensi, An-Na’im tak sadar bahwa permainan rasionalitasnya dalam membongkar teks-teks Al-Qur’an terdapat sedikit celah yang disitu masuk sisi emosional dari seorang An-Na’im, karena pemikiran yang dicetuskannya ini tak lepas dari kondisi sosio-kultural-politik di negara Sudan sendiri. Karena disana telah terjadi banyak pelanggaran HAM disebabkan oleh penerapan syari’ah dari otoritas kepemimpinan maupun otoritas agama.
Selanjutnya An-Na’im pun tadak menolak bahwa apa yang diwacanakan ini bersifat radikal dan sulit untuk diterima, namun dirinya tetap bersikeukeuh bahwa hal ini harus tetap dilakukan, kalau tidak akan menimbulkan kerugian terhadap islam itu sendiri di mata dunia(barat) serta demi menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang menurutnya tidak ada dalam kerangka syari’ah klasik.
Sunday, March 4, 2012
Kesesuaian Upah Kerja Sebagai Manifestasi Humanisme dalam Islam
Pendahuluan
Islam adalah agama yang universal. Universal dalam nilai-nilai yang dibawa dan dalam menuntun umatnya menjalani seluk beluk kehidupan. Kini zaman telah semakin berkembang, permasalahan semakin kompleks dan hal ini banyak menimbulkan pertanyaan dalam benak umat islam atas persoalan yang muncul, Namun lagi-lagi islam muncul sebagai solusi. Risalah ketuhanan ini memang selalu dapat menjadi andalan dikala persoalan baru muncul menantang umat untuk berpikir menemukan cara baru yang sesuai dengan realitas kekinian. Sesuai dengan apa yang pernah disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW bahwa dengan berpegang teguh terhadap dua warisan pusaka AlQur’an dan As-Sunnah maka umatnya tidak akan tersesat sampai kapan pun.Sama halnya dengan persoalan upah atau gaji bagi para tenaga kerja, pun hal ini telah diatur dalam islam. Waktu pemberian upah, jumlah upah, dan bagaimana memperlakukan buruh telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Hal ini yang menjadikan beliau disebut-sebut sebagai revolusioner pertama dalam sejarah umat manusia, melakukan pembebasan budak, menghapus sistem kelas yang ada dalam masayarakat Arab Jahiliyah pada masa itu dengan fokus kepada kesejahteraan umat islam.
Masalah pemberian upah yang tidak wajar, serta tidak baiknya perlakuan majikan terhadap buruh merupakan kegiatan lama yang sudah ada sejak zaman nenek moyang, hal ini baru dapat tergambarkan jelas di Indonesia pada era kolonialisme, dimana diterapkan sistem kerja paksa dengan perlakuan semena-mena terhadap orang pribumi. Mereka dipaksa kerja siang dan malam, dibei siksaan lalu dibayar dengan upah yang sangat tidak sebanding, bahkan ada yang tidak mendapat bayaran. Hal ini diterapkan pemerintah kolonial untuk menghemat perbendaharaan kas Negara pada waktu itu, dengan menggunakan orang-orang pribumi lalu dibayar murah daripada harus mendatangkan tenaga kerja dari Belanda dan dibayar mahal.
Budaya ini tertanam dan menginspirasi bagi sebagian besar saudagar dunia pada masa ini. mengharapkan keuntungan sebesar-besarnya dengan modal tertentu merupakan prinsip yang menjadi pedoman para kapitalis. Sehingga perlakuan yang sangat tidak manusiawi kerap kali terlihat, seperti penggajian upah penjaga toko, buruh angkut, buruh cuci, yang upah yang mereka peroleh sekedar dapat menyambung hidup saja, namun tidak mensejahterakan.
Pembahasan
Jika membahas tentang Upah, maka tentunya tak lepas dari pembahasan mengenai buruh, karena tentunya dua hal ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud dengan buruh adalah orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah . Sedangkan yang dimaksud dengan upah adalah uang yang dibayarkan sebagai pembalas jasa atau ssebagai pembayar tenaga yang sudah dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu . Untuk melakukan penggalian lebih dalam maka penulis akan menjelaskan tentang buruh dan upah kerja berdasarkan dua pandangan yang berbeda, yaitu dari pandangan islam dan kapitalisme1. Buruh dan Upah kerja menurut Kapitalisme
Kapitalisme atau Kapital adalah suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Kapitalisme punya sejarah panjang, pada awal kemunculannya kapitalisme dianggap sebagai suatu kemajuan, karena di Eropa pada waktu itu terjadi hegemoni perniagaan yang dilakukan oleh pemerintah secara besar-besaran sehingga menimbulkan ketimpangan ekonomi. Ketimpangan ekonomi ini dipandang sebagai suatu hal yang merugikan banyak orang dan menguntungkan pemerintah atau individu-individu yang punya kepentingan disana, maka para pemikir pada waktu itu mencoba untuk mencari jalan solusi dari persoalan yang sedang marak di daratan Eropa pada waktu itu, hingga ditemukan konsep kapitalisme yang mana pihak swasta diperbolehkan untuk melakukan perniagaan tanpa intervensi pemerintah melainkan sekelompok individu maupun kelompok dapat bertindak sebagai suatu badan tertentu yang dapat memiliki maupun melakukan perdagangan benda milik pribadi, terutama barang modal, seperti tanah dan manusia guna proses perubahan dari barang modal ke barang jadi. Untuk mendapatkan modal-modal tersebut, para kapitalis harus mendapatkan bahan baku dan mesin dahulu, baru buruh sebagai operator mesin dan juga untuk mendapatkan nilai lebih dari bahan baku tersebut .
Seiring dengan berjalannya waktu, kapitalisme berubah menjadi hal yang menakutkan dan sangat tidak manusiawi, dimana kerap terjadi pelanggaran HAM, dan penyelewengan kekuasaan dan wewenang untuk mendapatkan kekuasaan sebesar-besarnya, Kapitalisme kini menjadi “sahabat” sebagian besar oknum pemerintah untuk mendapatkan keuntungan. Dengan menjadikan undang-undang sebagai tameng, kapitalis dapat melakukan segala kegiatan yang melanggar HAM dan estetika demi kepentingan mereka, misalnya seperti eksploitasi lahan, penebangan hutan, penggusuran rumah warga miskin, dll.
Buruh adalah tulang punggung dari sektor produksi. Buruh bekerja di pertanian, perdagangan dan rumah tangga. Hak-hak mereka dikebiri bahkan mereka merupakan komoditas yang diperjual belikan . Kapitalisme menganggap buruh hanyalah pekerja dan si majikan adalah pemberi kerja . status diantara keduanya secara otomatis menimbulkan adanya tingkatan kelas secara keatas dan kebawah, atau yang biasa disebut dengan stratifikasi sosial. Hal ini menimbulkan perbedaan distribusi wewenang antara majikan dan buruh serta munculnya perbedaan berdasarkan posisi, status dan kelebihan yang dimiliki. Sedangkan upah menurut kapitalisme adalah uang yang diterima pekerja sebagai pengganti biaya hidup yang telah dikeluarkan si pekerja (buruh) agar mampu berproduksi (labour cost of production) . Hal ini menunjukan bahwa pemberian upah oleh kapitalis hanya sekedar penggati biaya atas apa yang telah dikerjakan, atau hanya sekedar untuk melanjutkan hidup serta Besaran upah disesuaikan dengan standar hidup minimum di daerah tempat si buruh bekerja. Standar upah berkisar antara US$ 60-150 per bulan yang ditetapkan oleh pemilik modal (kaum kapitalis) dan pejabat pemerintah.
2. Buruh dan Upah kerja menurut Islam
Nabi Muhammad SAW melakukan reformasi besar-besaran untuk mengadakan emansipasi Budak, dengan bertujuan menghapus sistem berbudakan di tanah Arab, langkah pertama yang Beliau lakukan adalah dengan membebaskan para Budak kemudian menempatkan para budak sebagai mitra kerja dan pemegang saham daripada sebagai tenaga kerja yang mencari upah, hal ini berdasarkan pada hadis yang berbunyi :
“Apabila pelayanmu tidak duduk sama denganmu maka berilah makanan dan pakaian kepada pelayan dan budak sebagaimana kebiasaannya dan berilah mereka pekerjaan sesuai dengan kemampuannya” (H.R. Bukhari)
Nabi Muhammad SAW membentangkan dasar untuk sebuah ekonomi dimana modal dan kerja harus bergabung sebagai mitra dan bukan sebagai pekerja dan pemberi kerja . Dengan demikian Muhammad SAW menunjukan sifat Humanisme terhadap sesama umat manusia dengan menghormati hak hidup dan hak kesejahteraan yang memang sepatutnya ia dapatkan. Sementara itu, terkait dengan masalah upah, dapat dikatakan bahwa upah merupakan suatu penerimaan sebagai imbalan dari perusahaan kepada pekerja atas prestasi berupa pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan oleh tenaga kerja dan dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang besarnya ditetapkan menurut suatu persetujuan atau perundang-undangan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja.
Salah satu prinsip Muhammad saw. mengenai masalah upah dapat dilihat dari hadits sebagai berikut:
أعطوا الأجير أجره قبل أن يجف عرقه.
Berikanlah upah seorang pekerja itu sebelum kering keringatnya.
Dalam hadis yang lain Muhammad saw. menjelaskan sebagai berikut:
ثلاثة أنا خصمهم يوم القيامة رجل أعطى بي ثم غدر ورجل باع حرا فأكل ثمنه ورجل إستأجر أجيرا فاستوفي منه ولم يعطه أجره.
Tiga orang yang aku menjadi musuh mereka pada hari kiamat yaitu: seseorang yang berjanji dengan menyebut namaku kemudian mengingkarinya, seseorang yang menjual orang merdeka yang telah dijadikan budak lalu mereka memanfaatkan harganya, dan seseorang yang mempekerjakan buruh lalu buruh itu menyelesaikan pekerjaannya dan ia tidak menunaikan upahnya.
Dengan demikian, Muhammad saw. telah menawarkan solusi yang sangat tepat, mengenai masalah upah atau masalah perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan pekerja atau majikan. Di satu sisi para pekerja mendapatkan upah yang layak tanpa melanggar hak-hak majikannya yang sah. Di sisi lain majikan juga tidak diperbolehkan berlaku sewenang-wenang terhadap kelompok pekerja dengan menghilangkan bagian hak atas pekerjanya yang sah.
Kesimpulan
Dari apa yang telah dibahas di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Islam merupakan agama yang humanis, mengangkat derajat dan martabat umat manusia. Karena pada hakikatnya semua manusia adalah sama di hadapan Allah SWT, hanya ketaqwa’an yang membedakan diantara sesama manusia.Muhammad saw membangun masyarakat tanpa kelas melalui konsep tauhid yakni menciptakan keadilan dan kebajikan (al-‘adl wa al ahsan) juga menekankan pentingnya keadilan, persamaan, dan persaudaraan berdasarkan keimanan (bukan berdasarkan ekonomi) untuk melawan ketimpangan sosial. Dengan ini diharapkan akan terwujud masyarakat yang bebas dari pengelompokan yang berdasarkan etnis, bangsa, bahasa dan kelas Kepedulian, pembelaan, dan perjuangan Muhammad saw. terhadap kaum yang tertindas dari sistem kapitalistik-eksploitatif di Makkah dan Madinah tampak dari penjelasannya tentang sosialisme Islam, tentang kepemilikan bersama, tentang hak-hak tenaga kerja, dan mengenai upah buruh.
Maka jelaslah islam merupakan ajaran universal yang memberikan solusi yang tepat disetiap zamannya, tak satupun permasalahan yang luput dari hal yang telah di bahas oleh islam baik itu dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
Waullahu‘alamu bish shawab
Label:
Buruh,
Islam,
Manifestasi,
Universal,
Upah
Subscribe to:
Posts (Atom)