Monday, June 29, 2015

Mempersoalkan Vickynisme


Bagi sebagian orang bahasa ilmiah memang merupakan bahasa yang sulit dimengerti, terutama bagi orang-orang yang minim membaca. Apa yang dibaca juga menjadi faktor penentu seseorang memahami gaya bahasa ilmiah atau tidak. Karena bahasa-bahasa ini biasanya digunakan dalam penulisan yang bersifat akademik sehingga sangat kecil kemungkinan ditemukan di dalam buku komik, novel remaja, dan bacaan ringan lainnya. Kewajiban penggunaan bahasa ilmiah mulai dilatih di dunia kampus, bahkan hal ini menjadi suatu keharusan dalam penulisan bersifat akademis seperti makalah, paper, skripsi, dan riset. Namun bisa saja ada orang yang tidak menempuh pendidikan di dunia kampus namun memahami bahasa ilmiah karena Ia menyukai bacaan yang bersifat ilmiah.
Pengantar di atas bukan bermaksud memberikan jarak atau kekhususan antara bahasa yang bersifat akademis dengan bahasa keseharian yang umumnya digunakan, melainkan memang begitulah adanya. Secara sederhana kita dapat mengetahui tingkatan ilmu seseorang dari apa yang disampaikan atau yang dituliskan. Contohnya, suatu hari A mendengarkan ceramah dari si B, setelah selesai, A mendapatkan ilmu baru yang belum pernah Ia dapat sebelumnya. Hal ini menunjukan bahwa B memiliki ilmu lebih dari A. nah, dalam ruang akademik hal ini bisa terlihat secara jelas salah satunya dengan penggunaan gaya bahasa yang bersifat akademik. Misal, mahasiswa jurusan ilmu hukum menjelaskan sesuatu dengan istilah hukum, mahasiswa kedokteran dengan istilah kedokteran, mahasiswa sosiologi dengan istilah sosiologi, begitu dan seterusnya. Semakin banyak istilah khusus yang digunakan maka dapat diasumsikan semakin banyak pengetahuan seseorang terkait dengan bidangnya tersebut.
Dengan berat hati Saya menekankan bahwa poin penting yang harus digaris bawahi adalah, apa yang telah dijelaskan sebelumnya hanya berlaku dalam ruang akademik atau kalangan tertentu. Mengapa? Sejujurnya Saya berharap bahasa-bahasa tersebut dapat dimengerti oleh orang banyak seperti di Negara-negara maju. Indonesia merupakan salah satu Negara dengan minat baca terendah di dunia, hal ini diperparah dengan fenomena kemunculan Vicky Prasetyo yang kemudian melahirkan “ideology Vickynisme”.
Terlepas dari absurditas gaya bahasa Vickynisme yang sebagian kalangan akademisi menganggap bahwa itu adalah terobosan baru dan patut diapresiasi. Vickynisme seolah menjadi jembatan penghubung antara bahasa ilmiah dengan masyarakat, namun sayangnya bukan untuk lebih mudah dimengerti melainkan dijadikan lelucon. Vickynisme lantas dijadikan pembenaran bagi masyarakat awam untuk menertawakan bahasa ilmiah. Vicky menggunakan bahasa “ilmiah” yang boleh dibilang keliru atau keluar dari kaidah bahasa Indonesia yang benar dan dijadikan sebagai identitas atau ciri khasnya sebagai entertainer, kemudian orang tertawa karena menganggap itu lucu, konyol atau apapun itu.
Vickynisme berdampak secara langsung, terutama bagi kalangan akademisi. Muncul semacam keraguan atau bantahan terhadap bahasa yang berbau akademis. Masyarakat seolah “berontak” dalam ketidak tahuan, bahasa ilmiah yang cukup rumit dan tidak dimengerti oleh masyarakat seperti istilah-istilah asing, akhiran isme, isasi, serta pilihan diksi khas dunia akademik kemudian diserang dengan menggunakan Vickynisme. Kemalasan masyarakat untuk belajar dan mencari tahu mendapatkan legitimasi kuatnya melalui Vickynisme. Bukan maksud Saya untuk mengekslusifkan bahasa ilmiah dibanding bahasa umum yang lain. Titik tekannya adalah hal ini berdampak terhadap rendahnya penghormatan kepada ilmu pengetahuan dan melegalkan kemalasan. Dengan teknologi yang sudah secanggih ini bukankah tidak sulit men-download KBBI dan Kamus lainnya di smartphone kita masing-masing? Itu adalah cara yang paling mudah dan sederhana dibandingkan dengan membaca buku yang ketika baca judulnya saja sudah pusing.

No comments:

Post a Comment