Bagi sebagian orang bahasa ilmiah
memang merupakan bahasa yang sulit dimengerti, terutama bagi orang-orang yang
minim membaca. Apa yang dibaca juga menjadi faktor penentu seseorang memahami
gaya bahasa ilmiah atau tidak. Karena bahasa-bahasa ini biasanya digunakan
dalam penulisan yang bersifat akademik sehingga sangat kecil kemungkinan
ditemukan di dalam buku komik, novel remaja, dan bacaan ringan lainnya. Kewajiban
penggunaan bahasa ilmiah mulai dilatih di dunia kampus, bahkan hal ini menjadi
suatu keharusan dalam penulisan bersifat akademis seperti makalah, paper,
skripsi, dan riset. Namun bisa saja ada orang yang tidak menempuh pendidikan di
dunia kampus namun memahami bahasa ilmiah karena Ia menyukai bacaan yang
bersifat ilmiah.
Pengantar di atas bukan bermaksud
memberikan jarak atau kekhususan antara bahasa yang bersifat akademis dengan
bahasa keseharian yang umumnya digunakan, melainkan memang begitulah adanya. Secara
sederhana kita dapat mengetahui tingkatan ilmu seseorang dari apa yang
disampaikan atau yang dituliskan. Contohnya, suatu hari A mendengarkan ceramah
dari si B, setelah selesai, A mendapatkan ilmu baru yang belum pernah Ia dapat
sebelumnya. Hal ini menunjukan bahwa B memiliki ilmu lebih dari A. nah, dalam
ruang akademik hal ini bisa terlihat secara jelas salah satunya dengan
penggunaan gaya bahasa yang bersifat akademik. Misal, mahasiswa jurusan ilmu
hukum menjelaskan sesuatu dengan istilah hukum, mahasiswa kedokteran dengan
istilah kedokteran, mahasiswa sosiologi dengan istilah sosiologi, begitu dan
seterusnya. Semakin banyak istilah khusus yang digunakan maka dapat diasumsikan
semakin banyak pengetahuan seseorang terkait dengan bidangnya tersebut.
Dengan berat hati Saya menekankan bahwa
poin penting yang harus digaris bawahi adalah, apa yang telah dijelaskan
sebelumnya hanya berlaku dalam ruang akademik atau kalangan tertentu. Mengapa? Sejujurnya
Saya berharap bahasa-bahasa tersebut dapat dimengerti oleh orang banyak seperti
di Negara-negara maju. Indonesia merupakan salah satu Negara dengan minat baca
terendah di dunia, hal ini diperparah dengan fenomena kemunculan Vicky Prasetyo
yang kemudian melahirkan “ideology Vickynisme”.
Terlepas dari absurditas gaya bahasa
Vickynisme yang sebagian kalangan akademisi menganggap bahwa itu adalah
terobosan baru dan patut diapresiasi. Vickynisme seolah menjadi jembatan
penghubung antara bahasa ilmiah dengan masyarakat, namun sayangnya bukan untuk
lebih mudah dimengerti melainkan dijadikan lelucon. Vickynisme lantas dijadikan
pembenaran bagi masyarakat awam untuk menertawakan bahasa ilmiah. Vicky
menggunakan bahasa “ilmiah” yang boleh dibilang keliru atau keluar dari kaidah
bahasa Indonesia yang benar dan dijadikan sebagai identitas atau ciri khasnya
sebagai entertainer, kemudian orang tertawa karena menganggap itu lucu, konyol
atau apapun itu.
Vickynisme berdampak secara langsung,
terutama bagi kalangan akademisi. Muncul semacam keraguan atau bantahan terhadap
bahasa yang berbau akademis. Masyarakat seolah “berontak” dalam ketidak tahuan,
bahasa ilmiah yang cukup rumit dan tidak dimengerti oleh masyarakat seperti
istilah-istilah asing, akhiran isme, isasi, serta pilihan diksi khas dunia
akademik kemudian diserang dengan menggunakan Vickynisme. Kemalasan masyarakat
untuk belajar dan mencari tahu mendapatkan legitimasi kuatnya melalui Vickynisme.
Bukan maksud Saya untuk mengekslusifkan bahasa ilmiah dibanding bahasa umum
yang lain. Titik tekannya adalah hal ini berdampak terhadap rendahnya
penghormatan kepada ilmu pengetahuan dan melegalkan kemalasan. Dengan teknologi
yang sudah secanggih ini bukankah tidak sulit men-download KBBI dan
Kamus lainnya di smartphone kita masing-masing? Itu adalah cara yang paling
mudah dan sederhana dibandingkan dengan membaca buku yang ketika baca judulnya
saja sudah pusing.
No comments:
Post a Comment