Friday, May 13, 2016

Bukan Pasar Malam: Sebuah Refleksi Tentang Kehidupan


Judul novel: Bukan Pasar Malam
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: lintiara Dipantara
Jumlah halaman: 106 halaman
ISBN: 978-979-3820-03-3

Siapa tidak mengenal Pramoedya Ananta Toer? Novelis kenamaan Indonesia yang sudah tidak asing lagi ditelinga para penggemar literasi. Pram yang lekat dengan tulisan bergaya anti kolonialisme dalam novel kali ini hadir dengan wajah lain. Karena dalam novel kali ini, masa pendudukan kolonial sudah usai, maka dimulailah masa pembangunan awal Negara.

Bukan Pasar Malam bercerita tentang kisah seorang mantan prajurit pasca revolusi  yang mendengar kabar bahwa ayahnya sedang menderita sakit keras. Tokoh “Aku”  dalam novel ini sebelumnya pernah mengirim surat pada sang ayah yang mempertanyakan mengapa adiknya bisa sampai mengalami sakit keras. Surat itu ternyata menimbulkan implikasi tersendiri terhadap tokoh “Aku” yang merasa, apakah suratnya itu yang kemudian membuat sang ayah kecewa padanya sehingga jatuh sakit. Perasaan bersalah dan kekhawatiran yang kemudian membawa tokoh “Aku” mengambil keputusan untuk kembali pulang ke tanah kelahirannya Blora untuk melihat keadaan sang Ayah.

Sesampainya di Blora, “Aku” kaget bukan kepalang melihat kondisi sang ayah yang semakin kurus dan terlihat seperti sebilah papan. Sangat jauh berbeda dengan ketika saat terakhir “Aku” bertemu dengan sang ayah. Seiring dengan berjalannya waktu, “Aku” memutuskan untuk tinggal di Blora paling tidak sampai kondisi sang ayah membaik. Namun Tuhan berkehendak lain, sang Ayah meninggalkan tokoh “Aku” beserta keenam saudaranya di rumah tua yang sudah miring, tempat dimana ibu, adik kecil, dan ayahnya meninggal.

Bukan Pasar Malam mengurai segala kompleksitas yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia pasca revolusi. Ini terlihat sejak awal dimulainya cerita, ketika tokoh “Aku” yang berkerja di Ibukota sebagai pegawai biasa yang mana cukup mengalami kesulitan dalam menjalani kehidupan, sampai-sampai untuk pulang ke Blora dalam rangka menjenguk sang ayah, Ia mesti berhutang kepada kawannya. Di jalan pulang ketika melewati istana kepresidenan, tokoh “Aku” seolah menunjukan rasa iri dan ketidakadilan dalam hidup, merasa begitu enaknya menjadi seorang presiden, tinggal di sebuah istana yang bermandikan cahaya lampu dengan berbagai fasilitas yang tidak mungkin bisa didapatkan olehnya.  

Begitu pula dengan sang Ayah. Hal ini baru diketahui oleh tokoh “Aku” setelah sang Ayah meninggal. Menurut cerita orang yang tidak dikenalnya itu, sang ayah mengalami kekecewaan yang amat dahsyat terhadap para kolega-koleganya dan hal itu pula yang menyebabkan ia jatuh sakit.

Sang ayah kecewa dengan keadaan yang terjadi pasca kemerdekaan yang justru malah menjadi bobrok. Mereka yang dulu jadi jendral geriliya dan pemimpin rakyat ketika kemerdekaan telah tercapai justru berebut gedung dan kursi. Sang ayah yang merasa jijik dengan tingkah oportunistik dan belagak populis dari para pemimpin rakyat itu kemudian memilih untuk meninggalkan lapangan politik untuk hidup bersama rakyat. 

Dalam akhir cerita ini terdapat baris kata yang menarik untuk dijadikan pelajaran. Baris kata tersebut dapat mewakili segala bentuk peristiwa yang terjadi dalam cerita serta dapat dimaknai sebagai ungkapan yang bersifat relijius pula. 

“Mengapa kita ini harus mati seorang diri? Lahir seorang diri pula? Dan mengapa kita ini harus hidup di satu dunia yang banyak manusianya? Dan kalau kita sudah bisa mencintai seorang manusia, dan orang itu pun mencintai kita-… Seperti mendiang kawan kita itu misalnya- mengapa kemudian kita harus bercerai berai dalam maut. Seorang. Seorang. Seorang. Dan seorang lagi lahir. Seorang lagi. Seorang lagi. Mengapa orang ini tak ramai-ramai lahir dan ramai-ramai mati? Aku ingin dunia ini seperti Pasar Malam.”

“Dan dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang. Seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang mereka pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah kemana”

Dua potongan cerita yang memiliki ruh dan makna yang begitu kuat. Potongan-potongan itu bisa saja dimaknai dalam konteks perjuangan politik, di mana dulunya seorang berjuang bersama, namun pada akhirnya hanyalah segilintir orang yang mendapat kenikmatan hidup, dan sisanya kembali sengsara dengan kehidupan yang tidak jauh berbeda dengan sebelum perjuangan dilakukan. Seolah ingin berteriak, mengapa setelah tujuan tercapai kita tidak sama-sama bahagia, gembira dalam suka cita, dan apabila gagal kita sama-sama tenggelam dalam kedukaan dan kesengsaraan. 

Seperti pasar malam, di mana orang masuk berduyun-duyun dan bersenang-senang di dalamnya, dan kemudian kembali pula berduyun-duyun pulang.

Sayangnya, kehidupan memang bukan pasar malam.       

*Juga terbit di indehoy.net

No comments:

Post a Comment