Judul novel:
Bukan Pasar Malam
Penulis:
Pramoedya Ananta Toer
Penerbit:
lintiara Dipantara
Jumlah
halaman: 106 halaman
ISBN: 978-979-3820-03-3
Siapa tidak mengenal Pramoedya Ananta Toer? Novelis kenamaan
Indonesia yang sudah tidak asing lagi ditelinga para penggemar literasi. Pram
yang lekat dengan tulisan bergaya anti kolonialisme dalam novel kali ini hadir
dengan wajah lain. Karena dalam novel kali ini, masa pendudukan kolonial sudah
usai, maka dimulailah masa pembangunan awal Negara.
Bukan Pasar Malam bercerita tentang kisah seorang mantan
prajurit pasca revolusi yang mendengar
kabar bahwa ayahnya sedang menderita sakit keras. Tokoh “Aku” dalam novel ini sebelumnya pernah mengirim
surat pada sang ayah yang mempertanyakan mengapa adiknya bisa sampai mengalami
sakit keras. Surat itu ternyata menimbulkan implikasi tersendiri terhadap tokoh
“Aku” yang merasa, apakah suratnya itu yang kemudian membuat sang ayah kecewa
padanya sehingga jatuh sakit. Perasaan bersalah dan kekhawatiran yang kemudian
membawa tokoh “Aku” mengambil keputusan untuk kembali pulang ke tanah
kelahirannya Blora untuk melihat keadaan sang Ayah.
Sesampainya di Blora, “Aku” kaget bukan kepalang melihat
kondisi sang ayah yang semakin kurus dan terlihat seperti sebilah papan. Sangat
jauh berbeda dengan ketika saat terakhir “Aku” bertemu dengan sang ayah. Seiring
dengan berjalannya waktu, “Aku” memutuskan untuk tinggal di Blora paling tidak
sampai kondisi sang ayah membaik. Namun Tuhan berkehendak lain, sang Ayah
meninggalkan tokoh “Aku” beserta keenam saudaranya di rumah tua yang sudah
miring, tempat dimana ibu, adik kecil, dan ayahnya meninggal.
Bukan Pasar Malam mengurai segala kompleksitas yang dihadapi
oleh masyarakat Indonesia pasca revolusi. Ini terlihat sejak awal dimulainya
cerita, ketika tokoh “Aku” yang berkerja di Ibukota sebagai pegawai biasa
yang mana cukup mengalami kesulitan dalam menjalani kehidupan, sampai-sampai untuk pulang
ke Blora dalam rangka menjenguk sang ayah, Ia mesti berhutang kepada kawannya. Di
jalan pulang ketika melewati istana kepresidenan, tokoh “Aku” seolah menunjukan
rasa iri dan ketidakadilan dalam hidup, merasa begitu enaknya menjadi seorang
presiden, tinggal di sebuah istana yang bermandikan cahaya lampu dengan
berbagai fasilitas yang tidak mungkin bisa didapatkan olehnya.
Begitu pula dengan sang Ayah. Hal ini baru diketahui oleh
tokoh “Aku” setelah sang Ayah meninggal. Menurut cerita orang yang tidak
dikenalnya itu, sang ayah mengalami kekecewaan yang amat dahsyat terhadap para kolega-koleganya
dan hal itu pula yang menyebabkan ia jatuh sakit.
Sang ayah kecewa dengan keadaan yang terjadi pasca
kemerdekaan yang justru malah menjadi bobrok. Mereka yang dulu jadi jendral
geriliya dan pemimpin rakyat ketika kemerdekaan telah tercapai justru
berebut gedung dan kursi. Sang ayah yang merasa jijik dengan tingkah
oportunistik dan belagak populis dari para pemimpin rakyat itu kemudian memilih
untuk meninggalkan lapangan politik untuk hidup bersama rakyat.
Dalam akhir cerita ini terdapat baris kata yang menarik
untuk dijadikan pelajaran. Baris kata tersebut dapat mewakili segala bentuk
peristiwa yang terjadi dalam cerita serta dapat dimaknai sebagai ungkapan yang
bersifat relijius pula.
“Mengapa kita ini harus mati seorang diri? Lahir seorang
diri pula? Dan mengapa kita ini harus hidup di satu dunia yang banyak
manusianya? Dan kalau kita sudah bisa mencintai seorang manusia, dan orang itu
pun mencintai kita-… Seperti mendiang kawan kita itu misalnya- mengapa
kemudian kita harus bercerai berai dalam maut. Seorang. Seorang. Seorang. Dan seorang
lagi lahir. Seorang lagi. Seorang lagi. Mengapa orang ini tak ramai-ramai lahir
dan ramai-ramai mati? Aku ingin dunia ini seperti Pasar Malam.”
“Dan dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia
dan berduyun-duyun pula kembali pulang. Seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang
mereka pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya
terbang entah kemana”
Dua potongan cerita yang memiliki ruh dan makna yang begitu
kuat. Potongan-potongan itu bisa saja dimaknai dalam konteks perjuangan
politik, di mana dulunya seorang berjuang bersama, namun pada akhirnya hanyalah
segilintir orang yang mendapat kenikmatan hidup, dan sisanya kembali sengsara
dengan kehidupan yang tidak jauh berbeda dengan sebelum perjuangan dilakukan. Seolah
ingin berteriak, mengapa setelah tujuan tercapai kita tidak sama-sama bahagia,
gembira dalam suka cita, dan apabila gagal kita sama-sama tenggelam dalam
kedukaan dan kesengsaraan.
Seperti pasar malam, di mana orang masuk berduyun-duyun dan
bersenang-senang di dalamnya, dan kemudian kembali pula berduyun-duyun pulang.
Sayangnya, kehidupan memang bukan pasar malam.
*Juga terbit di indehoy.net
*Juga terbit di indehoy.net
No comments:
Post a Comment