Monday, May 9, 2016

Ikan Lele dan Kelas Menengah Ngehek

Mungkin masih segar di ingatan masyarakat Balikpapan tentang seekor buaya yang terlihat di parit depan Puskib. Sebagaimana diberitakan oleh portalbalikpapan.com pada 26 Juni 2015, yang menjelaskan bahwa sesuai keterangan warga pada saat itu terlihat seekor buaya di sana. “Tadi ada buaya disitu, lalu saya ambil batu dan lemparkan, buayanya sembunyi di situ.”  ujar salah satu warga yang berada di tempat kejadian perkara. Setelah itu seorang warga sembari meninggalkan tempat kejadian berceletuk, “Mungkin lele kali yang dia liat, terus disangkanya buaya.”


Setelah membaca berita tersebut kemudian saya bertanya-tanya dalam hati, “Mengapa kok dengan mudahnya orang itu bilang kalau itu lele, hanya karena tidak melihat buaya itu secara langsung?

 Ya, saya mempertanyakan, mengapa lele yang kemudian dipilih untuk mensubstitusikan buaya yang tidak ia lihat. Apa salah lele sehingga ia dilibatkan begitu saja untuk menggantikan posisi buaya yang di mata penduduk Balikpapan sebagai hewan yang ditakuti dan telah memangsa banyak orang itu?

Banyak orang yang secara serampangan memandang rendah lele, hanya karena wajahnya yang buruk rupa dan sering dicap sebagai pemakan kotoran. Meski demikian, tetap saja ikan ini menjadi salah satu kegemaran sebagian masyarakat untuk dikonsumsi. Memang betul, terlalu jauh membandingkan antara superioritas buaya dan ikan lele dalam hal kekuatan dan kengerian. Namun, jangan dilupakan jasa ikan lele yang sudah mengisi perut-perut kelas menengah yang kosong dengan harga terjangkau. Bandingkan saja dengan buaya yang hanya mampu dijangkau oleh sebagian kecil masyarakat yang punya uang berlebih. Tidak semua orang mampu untuk menikmati hasil olahan buaya seperti Daging, kulit, kuku, dan taringnya yang bisa menjadi komoditas ekspor maupun impor bernilai tinggi.

Disini kehadiran buaya dan lele dapat mewakili representasi kelas dalam masyarakat kita yang timpang. Buaya yang mewakili masyarakat kelas atas, dan ikan lele yang mewakili masyarakat kelas menengah. “Lalu dimana posisi masyarakat kelas bawah atau proletar?” Tentu saja garam. Mengapa garam? Karena masyarakat miskin kan belum tentu bisa makan lele, apalagi buaya. Sehingga garam lah yang yang paling cocok mewakili masyarakat kelas bawah. Syukur, apabila ada kelebihan rezeki, maka posisi garam akan digantikan oleh tempe, tahu, dan kecap.

“Bagaimana dengan kerupuk?” Harga krupuk kaleng sekarang per kerupuknya sudah seribu mas, tentu saja orang miskin kini sudah berpikir dua kali untuk membeli kerupuk.

Oke kita kembali ke lele. Substitusi yang dilakukan oleh orang tadi yang dengan semena-mena menyalahkan lele dapat dikatakan merupakan bentuk upaya kriminalisasi terhadap lele. Dengan ditimpakan kesalahan tersebut kepada lele, bisa saja lantas orang-orang akan berkata “Dasar lele sialan!” atau “Lele bedebah!”. Umpatan yang mungkin akan keluar dari mulut orang-orang itu tentu saja tak lepas dari posisi tawar lele yang memang sudah lemah di masyarakat. Coba saja bandingkan kalau ternyata di situ memang ada buaya. Saya haqqul yakin  kalau bukanlah umpatan yang akan keluar, tetapi kekaguman atau kengerian seperti, “gedenya pang buayanya” atau “ngerinya nah, bisanya buayanya sampai ke sini.”

Pelimpahan kesalahan dari buaya ke lele merupakan gambaran dari kelas menengah ngehek dewasa ini. Mereka tanpa ragu dan tak tahu malu merapat ke ketiak penguasa atau orang berpengaruh untuk mendapatkan legitimasi dalam bertindak. Dengan menjadi tangan kanannya si anu atau orang kepercayaannya si itu, mereka bisa dengan mudah menjangkau segala kebutuhan yang diperlukan dengan lebih mudah dan cepat dibanding orang biasa lainnya. Tentu saja tindakan ini menimbulkan konsekuensi, yaitu dengan menutup-nutupi kesalahan bosnya atau lemparkan saja kesalahan itu kepada orang yang posisi tawarnya lebih lemah. Mirip dengan kasus lele tadi, mungkin saja orang itu tangan kanannya buaya atau mungkin buaya itu adalah sanak saudaranya yang sedang melakukan praktik pesugihan dengan menyamar menjadi buaya. Dengan santainya dan bertujuan mengelabui khalayak ramai ia berkata, “Mungkin lele yang dia lihat.”

Upaya jenius yang pada akhirnya menenggelamkan isu buaya yang terlihat di Puskib, karena tidak ada liputan lanjutan yang memberitakan buaya tersebut setelah itu.

“Bisa gitu ya?”

“Iya, ya Pak…”

*Terbit pertama kali di Indehoy.net

No comments:

Post a Comment