Mungkin masih segar di ingatan
masyarakat Balikpapan tentang seekor buaya yang terlihat di parit depan
Puskib. Sebagaimana diberitakan oleh portalbalikpapan.com pada 26 Juni 2015, yang menjelaskan bahwa sesuai keterangan warga pada saat itu terlihat seekor buaya di sana. “Tadi ada buaya disitu, lalu saya ambil batu dan lemparkan, buayanya sembunyi di situ.”
ujar salah satu warga yang berada di tempat kejadian perkara. Setelah
itu seorang warga sembari meninggalkan tempat kejadian berceletuk, “Mungkin lele kali yang dia liat, terus disangkanya buaya.”
Setelah membaca berita tersebut kemudian saya bertanya-tanya dalam hati, “Mengapa kok dengan mudahnya orang itu bilang kalau itu lele, hanya karena tidak melihat buaya itu secara langsung?”
Ya, saya mempertanyakan, mengapa lele yang kemudian dipilih untuk
mensubstitusikan buaya yang tidak ia lihat. Apa salah lele sehingga ia
dilibatkan begitu saja untuk menggantikan posisi buaya yang di mata
penduduk Balikpapan sebagai hewan yang ditakuti dan telah memangsa
banyak orang itu?
Banyak orang yang secara serampangan
memandang rendah lele, hanya karena wajahnya yang buruk rupa dan sering
dicap sebagai pemakan kotoran. Meski demikian, tetap saja ikan ini
menjadi salah satu kegemaran sebagian masyarakat untuk dikonsumsi.
Memang betul, terlalu jauh membandingkan antara superioritas buaya dan
ikan lele dalam hal kekuatan dan kengerian. Namun, jangan dilupakan jasa
ikan lele yang sudah mengisi perut-perut kelas menengah yang kosong
dengan harga terjangkau. Bandingkan saja dengan buaya yang hanya mampu
dijangkau oleh sebagian kecil masyarakat yang punya uang berlebih. Tidak
semua orang mampu untuk menikmati hasil olahan buaya seperti Daging,
kulit, kuku, dan taringnya yang bisa menjadi komoditas ekspor maupun
impor bernilai tinggi.
Disini kehadiran buaya dan lele dapat
mewakili representasi kelas dalam masyarakat kita yang timpang. Buaya
yang mewakili masyarakat kelas atas, dan ikan lele yang mewakili
masyarakat kelas menengah. “Lalu dimana posisi masyarakat kelas bawah atau proletar?”
Tentu saja garam. Mengapa garam? Karena masyarakat miskin kan belum
tentu bisa makan lele, apalagi buaya. Sehingga garam lah yang yang
paling cocok mewakili masyarakat kelas bawah. Syukur, apabila ada
kelebihan rezeki, maka posisi garam akan digantikan oleh tempe, tahu,
dan kecap.
“Bagaimana dengan kerupuk?”
Harga krupuk kaleng sekarang per kerupuknya sudah seribu mas, tentu saja
orang miskin kini sudah berpikir dua kali untuk membeli kerupuk.
Oke kita kembali ke lele. Substitusi
yang dilakukan oleh orang tadi yang dengan semena-mena menyalahkan lele
dapat dikatakan merupakan bentuk upaya kriminalisasi terhadap lele.
Dengan ditimpakan kesalahan tersebut kepada lele, bisa saja lantas
orang-orang akan berkata “Dasar lele sialan!” atau “Lele bedebah!”.
Umpatan yang mungkin akan keluar dari mulut orang-orang itu tentu saja
tak lepas dari posisi tawar lele yang memang sudah lemah di masyarakat.
Coba saja bandingkan kalau ternyata di situ memang ada buaya. Saya haqqul yakin kalau bukanlah umpatan yang akan keluar, tetapi kekaguman atau kengerian seperti, “gedenya pang buayanya” atau “ngerinya nah, bisanya buayanya sampai ke sini.”
Pelimpahan kesalahan dari buaya ke lele merupakan gambaran dari kelas menengah ngehek
dewasa ini. Mereka tanpa ragu dan tak tahu malu merapat ke ketiak
penguasa atau orang berpengaruh untuk mendapatkan legitimasi dalam
bertindak. Dengan menjadi tangan kanannya si anu atau orang kepercayaannya si itu, mereka
bisa dengan mudah menjangkau segala kebutuhan yang diperlukan dengan
lebih mudah dan cepat dibanding orang biasa lainnya. Tentu saja tindakan
ini menimbulkan konsekuensi, yaitu dengan menutup-nutupi kesalahan
bosnya atau lemparkan saja kesalahan itu kepada orang yang posisi
tawarnya lebih lemah. Mirip dengan kasus lele tadi, mungkin saja orang
itu tangan kanannya buaya atau mungkin buaya itu adalah sanak saudaranya
yang sedang melakukan praktik pesugihan dengan menyamar menjadi buaya.
Dengan santainya dan bertujuan mengelabui khalayak ramai ia berkata, “Mungkin lele yang dia lihat.”
Upaya jenius yang pada akhirnya
menenggelamkan isu buaya yang terlihat di Puskib, karena tidak ada
liputan lanjutan yang memberitakan buaya tersebut setelah itu.
“Bisa gitu ya?”
“Iya, ya Pak…”
*Terbit pertama kali di Indehoy.net
No comments:
Post a Comment